Ramadan seringkali meminggalkan kesan indah di hati umat Islam.
Kecuali bagi sedikit orang, datangnya bulan penuh hikmah ini mungkin bertepatan dengan peristiwa duka yang dialami. Ayah yang meninggal, rumah yang terbakar, atau sedang terbaring di rumah sakit sampai hari lebaran tiba, misalnya.
Alhamdulillah saya tidak termasuk ke dalam sedikit orang tersebut.Â
Ramadan di masa kecil bersama adik semata wayang, mungkin tidak bisa dikatakan sebagai nostalgia. Tetapi menjadi catatan bagi saya.
Berikut kisahnya:
Berbuka puasa tanpa ditemani ibu dan bapak
Masa itu, tahun 1990 kami sekeluarga baru saja menempati rumah baru di perkampungan yang belum padat penduduk. Saat itu saya berusia sepuluh tahun, dan adik tujuh tahun.Â
Selama beberapa kali datangnya bulan Ramadan, saya dan adik selalu berbuka puasa tanpa ditemani ibu dan bapak. Hanya saya dan adik laki-laki. Ini terjadi karena saat itu ibu harus bekerja di pabrik kayu lapis untuk mencari nafkah.
Selama beberapa dekade, kota Samarinda memang berjaya dengan hasil hutan berupa kayu gelondongan yang kemudian diolah menjadi kayu lapis. Bahkan kota kelahiran saya ini sampai dijuluki "Kota Kayu" pada waktu itu.
Saya ingat, pagi hari sebelum ibu berangkat kerja, beliau memberikan sejumlah uang untuk dibelanjakan pada tetangga kami yang berjualan takjil ala kadarnya.Â
Pada jam tiga siang, saya dan adik pun pergi melihat apa sajakah yang dijual dan cocok dengan kesukaan kami. Ada cendol, es campur, gorengan, dan mihun. Sementara tetangga lainnya lagi, menjual lumpia, urap sayur, dan es buah (sekarang disebut es buah jadul).
Kami membelanjakan uang yang diberikan ibu yang jumlahnya juga tidak banyak. Kalau masih ada yang diinginkan, kami menghibur hati dengan merencanakan akan membelinya besok. Dengan demikian menu berbuka puasa cukup berganti-ganti. Hehe...
Sesampainya di rumah, bungkusan mihun dan cemdol kami simpan dalam lemari makan.Â
Oya, mungkin sebagian pembaca tidak paham apa itu lemari makan, dan hanya mengenal meja makan?Â
Lemari makan adalah lemari kecil terbuat dari kayu (sekarang terbuat dari kaca dan rangka stainless) untuk menyimpan makanan yang sudah dimasak.Â
Saat waktu makan tiba, lauk-pauk, sayur, sambal dan lain-lain dikeluarkan dari dalam lemari dan ditata sedemikian rupa di atas tikar rotan (disebut lampit) maupun tikar pandan.
Pada zaman dulu, di desa ataupun di perkampungan seperti yang kami tinggali, makan bersama sambil duduk melantai menjadi sesuatu yang umum dan menyenangkan. Suasana akrab dan dekat pun akan sangat terasa.Â
Tapi itu tidak berlaku manakala hanya ada saya dan adik yang duduk bersama di tengah suasana senja yang sepi.Â
Hanya terdengar suara azan maghrib dari langgar (semaksud dengan musholla) dan selebihnya sesekali nyeng-nyeng/tonggeret (Cicadomorpha ordo Homoptera) ataupun serangga lainnya.
Perlahan suasana senja yang redup berganti dengan malam. Pohon nangka di halaman mulai membentuk bayangan rimbun dan gelap.
Sinar lampu TL pendek yang dipasang bapak di jendela kaca depan, harus terbagi dua. Sebagian menerangi ruang tamu, dan sebagian lagi untuk menerangi halaman rumah.Â
Selesai berbuka puasa menikmati makanan kecil tadi, adik pergi ke langgar dan saya shalat maghrib di rumah.Â
Kapan ibu dan bapak kami datang?Â
Ibu biasanya pulang kerja sekitar jam delapan malam, atau sesudah kami tarawih di langgar. Dan bapak jauh lebih larut lagi jika urusan berkumpul dengan teman-temannya sudah membuat badan lelah atau mengantuk.
Hiburan kami pada waktu itu adalah televisi 14" dengan siaran TVRI tentunya karena siaran tv swasta baru bisa dinikmati melalui antena parabola saja.
Ramadan, saya ingin selalu menikmatinya bersama anak-anak
Bagaimana dengan sekarang?
Sekarang saya tinggal bersama suami dan ketiga anak kami di lingkungan terpencil. Ibu sudah meninggal dunia, empat tahun yang lalu dan bapak tinggal sendiri di rumah masa kecil kami.
Satu hal yang saya cita-citakan dalam rumah tangga, tidak ingin meninggalkan anak-anak karena takut mereka akan merasakan hal yang sama. Rasa sepi, sedih, dan kehilangan.
Sebisanya saya ingin berada di tengah mereka untuk menghangati jiwa dan hati yang begitu murni. Sebisanya saya berusaha menghindari luka batin yang mungkin akan sulit disembuhkan nantinya.
Salam Ramadan
***
THR Kompasiana
samberTHR
samber 2023 hari 2
nostalgia masa kecildi bulan ramadan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H