Dalam hidupku, ada tiga kebahagiaan yang bila diceritakan tak akan pernah selesai, justru akan menggenangkan air mata di sudut hatimu.Â
Mari sini, rumah ini telah sunyi. Akan kuceritakan yang terakhir saja, kisah tentang aku dan kawanmu yang menikahiku dua puluh tahun yang lalu.
Begitulah, waktu telah menjauhi masa-masa kami saling jatuh cinta. Bisa dibilang aku begitu beruntung karena waktu itu sudah telat menikah beberapa lama. Teman-teman seangkatan sudah mempunyai dua atau tiga anak yang beranjak remaja.
*
Pujangga itu, kukenal di sebuah situs tempat kita menulis cacatan-catatan kecil. Walau kita bertiga sebenarnya satu almamater, namun tadinya tak saling kenal.
Berawal dari saling mengunjungi, menyimak tulisan  dan meninggalkan jejak di kolom komentar, hatiku perlahan terpaut padanya.
Dia adalah pujangga yang menorehkan puisi-puisinya nan romantis dan syahdu. Siapapun yang membacanya, akan menemukan kedalaman rasa yang sulit diungkapkan.
Ini bukan penilaianku saja. Kau sering juga kan, membaca komentar orang-orang di sana? Mereka semua terpukau, terkagum dan terhanyut oleh diksi-diksinya yang indah.
Pertemuan kami tentu saja diawali dengan acara kopi darat bersama para penulis lainnya. Tapi interaksi yang seadanya, meninggalkan angan yang lebih. Dia benar-benar telah menitipkan rasa yang selama ini tak kupunya.
Atas dukungan kalian, sang pujangga akhirnya datang menemuiku. Dia mengutarakan cintanya dengan sebuah puisi yang masih kusimpan.Â
Pujangga itu seakan menghadiahkan rembulan ke pangkuan. Dia begitu kharismatik, bisa saja memilih wanita lain sebagai pendamping. Teman kantornya, atau mantan adik kelasnya. Tapi dia memilih aku, wanita biasa dengan kruk di ketiaknya.
"Itu namanya jodoh, Ryn. Kita tidak pernah tahu, kan?"
Kau benar.Â
Itu sebabnya aku sangat setia kepadanya. Aku selalu berusaha menyenangkan hatinya setiap dia berada di rumah. Diam-diam aku ingin menjadi figur wanita dalam puisinya.Â
Aku ingin dia memujaku dengan sepenuh hatinya. Seperti bait-bait yang diciptakannya untuk wanita dalam puisi itu. Walau di sisi lain, sosok itu masih misteri dan hanya dia yang tahu.
"Bukankah dia sudah pernah mengatakannya?"
Aku menatapmu. Kau benar lagi.
Pujangga itu pernah berbaring di sisiku pada suatu malam. Kepalaku diraihnya ke atas dadanya, lalu sebelah tangannya memeluk tubuhku.
Aku tak menyia-nyiakan kesempatan ini. Aku bertanya mengapa sejak kami belum menikah, dia sudah menulis puisi tentang seorang wanita yang digambarkan indah, namun tak dapat dia miliki. Siapakah gerangan sosok wanita itu?
Aku merasakan tangannya mengelus punggunggku. Dia mencium keningku lalu berkata, "Cemburu?"
Aku tak menjawab. Bagaimana mungkin aku merasa cemburu kepada ribuan puisi?
"Sejak dulu kau sudah melakukannya tanpa ada yang menghalangi. Apakah sekarang aku bisa menghentikanmu?" aku balik bertanya.
Saat itu kurasakan detak jantungnya berdegup kencang di telingaku. Cukup lama sampai iramanya kembali seperti sedia kala. Aku pun berjanji dalam hati tak akan membahas masalah ini lagi.
"Kau masih menyimpan buku kumpulan puisi yang diberikannya sebelum kalian menikah?"
Ya, aku masih menyimpannya. Aku masih sering membacanya. Buku itu tidak kuletakkan dalam rak baca bersama buku-buku lainnya. Tapi kusimpan secara khusus di kamar kami, dalam sebuah laci yang dialasi kain halus.Â
Setangkai mawar selalu menebarkan wangi sampai kelopaknya mengering. Buku itu sangat berarti dan berharga untukku.
"Tapi buku yang sama juga dimiliki teman-teman lainnya. Mengapa buku itu menjadi penting?"
Sesaat aku memejam mata, menahan gemuruh di dadaku sendiri. Melukis seraut wajah berkacamata dalam kepalaku.
Seorang istri mempunyai cara untuk menghargai pemberian suaminya, apalagi ini adalah karya yang dia lahirkan dari proses mengejawantah selama berhari-hari. Pujangga itu menulisnya dengan sepenuh jiwa, bukan sekedar dengan mata pena.
"Jadi hari ini aku juga tak boleh meminjamnya?"
Ah, kau memang cantik. Bahkan bisa dibilang kau memiliki ciri wanita misterius dalam puisi-puisi suamiku.Â
Sepasang matamu bagai mata ratu. Wajahmu menerbitkan rindu. Manjamu, membuat pujangga kehilangan dirinya. Dan kau masih sendiri sampai hari ini.
Tidak. Aku tidak ingin berpikir apapun untuk mencemburuinya, aku sudah berjanji.Â
Hanya saja, wanita seanggun dirimu ternyata tak dapat menjaga sebuah buku yang sama yang dia berikan.
*
Aku menatap diri dalam cermin. Menatap kelemahanku untuk membahagiakan pria yang kucintai.
Dua puluh tahun bukan waktu sebentar. Bukan sekali dua kali mereka bertanya tentang tangis bayi di antara kita. Mengapa tak pernah ada?
Apakah kau tidak salah pilih, duhai Pujangga?Â
Aku berjalan dengan satu kaki dan sebuah kruk untuk menyangga. Aku tak dapat mengandung seorang bayi yang akan mewarisi karya-karyamu.
Aku beranjak mengambil wudhu, mendirikan sholat di tengah keheningan.Â
Tak terasa air mataku membasahi pipi. Sebaris doaku tulus untukmu.Â
Aku bahagia mengenalmu. Semoga engkau bahagia di sisi Sang Kuasa.Â
Salam rinduku selalu.
**
Kota Kayu, 18 Desember 2022
Cerpen Ayra Amirah untuk Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H