Pujangga itu seakan menghadiahkan rembulan ke pangkuan. Dia begitu kharismatik, bisa saja memilih wanita lain sebagai pendamping. Teman kantornya, atau mantan adik kelasnya. Tapi dia memilih aku, wanita biasa dengan kruk di ketiaknya.
"Itu namanya jodoh, Ryn. Kita tidak pernah tahu, kan?"
Kau benar.Â
Itu sebabnya aku sangat setia kepadanya. Aku selalu berusaha menyenangkan hatinya setiap dia berada di rumah. Diam-diam aku ingin menjadi figur wanita dalam puisinya.Â
Aku ingin dia memujaku dengan sepenuh hatinya. Seperti bait-bait yang diciptakannya untuk wanita dalam puisi itu. Walau di sisi lain, sosok itu masih misteri dan hanya dia yang tahu.
"Bukankah dia sudah pernah mengatakannya?"
Aku menatapmu. Kau benar lagi.
Pujangga itu pernah berbaring di sisiku pada suatu malam. Kepalaku diraihnya ke atas dadanya, lalu sebelah tangannya memeluk tubuhku.
Aku tak menyia-nyiakan kesempatan ini. Aku bertanya mengapa sejak kami belum menikah, dia sudah menulis puisi tentang seorang wanita yang digambarkan indah, namun tak dapat dia miliki. Siapakah gerangan sosok wanita itu?
Aku merasakan tangannya mengelus punggunggku. Dia mencium keningku lalu berkata, "Cemburu?"
Aku tak menjawab. Bagaimana mungkin aku merasa cemburu kepada ribuan puisi?