Aku baru saja mendengar cerita aneh dari putriku, Amanda, yang bersekolah di sana. Salah satu penari dari grup Menari-nari, Amel, tangannya tidak benar-benar lurus karena pernah terjatuh di teras depan kelas 8A.
Awalnya, aku meminta foto pada Mr. Can tentang lomba menari yang berlangsung sehari sebelumnya. Sebagai ibu aku ingin memamerkan keaktifan putriku ke media sosial. Mr. Can menjawab, hanya ada video, Bu.
Jam sebelas malam, aku memutar file berulang-ulang. Anak-anak itu membawakan tarian tradisional yang memang tidak umum dipilih oleh remaja. Mereka kebanyakan menciptakan tarian modern dengan variasi gerakan yang enerjik. Tetapi Amanda dan teman-temannya menganggap tari tradisional tanda cinta kepada budaya dan juga anggun untuk ditarikan.
Sudah belasan kali aku menjeda untuk mengambil posisi terbaik. Semua gambar tampak jelek karena salah satu penari melakukan gerakan lebih lambat. Siapa gadis itu?
"Dia Amel, teman kami yang pernah kuceritakan tangannya patah karena terpeleset."
Tangannya patah? Lalu mengapa dia ikut menari?
Oh, ya, aku masih mengingatnya. Insiden ini terjadi masih dalam semester berjalan.Â
Di kelas tujuh, Amanda dan teman-temannya menempati ruangan tengah di lantai dua. Kelas delapan, mereka menempati lantai bawah, juga ruang yang berada di tengah.Â
Saat sekolah berakhir, Amanda dan yang lainnya berbelok ke kiri dan melewati teras kelas 8A dimana terdapat tangga ke kelas tujuh. Apakah titik ini memang berhantu?
Setelah putriku pamit tidur, aku mengambil kertas kosong dan mulai membuat denah sekolah.
Beberapa bulan yang lalu, kapan pastinya aku lupa, seorang pelajar laki-laki terjatuh dan mengalami kelumpuhan akibat cedera tulang ekor setelah meluncurkan dirinya dengan bodoh.Â
Memang tidak tertulis peringatan apa-apa di sana, tapi hanya murid baru itu yang berbuat konyol, turun melalui pipa besi yang seharusnya berfungsi sebagai pagar pembatas tangga sekaligus tempat berpegangan.Â
Sampai sekarang kabarnya dia masih dirawat dengan kelumpuhan permanen.
Amel sendiri terjatuh saat halaman sekolah mereka digenangi banjir karena malam sebelumnya turun hujan deras.Â
Beberapa anak menikmati genangan air setinggi lutut, sekedar berjalan hilir-mudik tak jelas, termasuk Amel.
Amanda dan beberapa temannya menyaksikan gadis itu terpeleset dan kesakitan luar biasa. Keesokan harinya tersiar kabar Amel mengalami patah tangan yang berakhir dengan bengkok sampai saat iniÂ
Sekitar seminggu yang lalu, sahabat putriku, Adiba, yang terkadang berkunjung ke rumah kami, tidak sengaja menjatuhkan laptop-nya saat melambai temannya yang berjalan ke arah kantin. Kerusakannya mungkin tidak terlalu penting, tetapi kejadian ini membuat anak-anak mengatakan teras kelas 8A meminta tumbal!
Keesokan harinya, dua jam setelah anak-anak pulang, aku sengaja datang dan meminta izin penjaga sekolah untuk beberapa saat berada di sana.
"Anda mau apa, Bu?" tanya lelaki itu tak senang.
Saat kujelaskan bahwa aku ingin melihat hantu penunggu sekolah, wajahnya langsung berubah.
"Kalau begitu silakan. Sepertinya memang ada yang aneh sejak saya bekerja di sini."
O, begitu rupanya.Â
Lelaki itu juga menceritakan bahwa kawasan resident tempatnya bekerja sebelumnya, juga sama. Dia terpaksa pindah karena anak istrinya tak tahan diganggu makhluk halus.
Setelah itu dia pamit akan membersihkan kamar mandi.Â
Aku berjalan pelan, lurus melewati bangunan aula. Koridornya terhubung dengan ruang laboratorium di seberang bangunan kelas tujuh dan delapan.Â
Aku duduk di kursi panjang sambil membuka camilanku. Aku juga membawa air minum dalam botol kecil. Tidak asyik kan, menunggu hantu tanpa ada yang dikerjakan.
Tidak ada tanda apapun. Semua terlihat normal dan tak ada hawa tidak enak yang biasanya menguasai tempat tinggal mereka. Makhluk tak kasat mata itu, maksudku.
Aku bahkan sempat memperhatikan burung kecil bermain di ranting pinus yang ujung daunnya mulai kering karena panas. Kecuali suara benda terjatuh di ruang laboratorium, entah apa.
"Bu, ini hari kamis, dan hari sudah menjelang malam. Apakah Anda tidak ingin kembali ke rumah?" penjaga sekolah menghampiriku dengan wajah khawatir.
"Sebentar lagi, Pak. Saya sudah memesan taksi," kataku berbohong.
Lelaki itu lalu pergi ke arah belakang, tempat dia tinggal.Â
Sial! Dia tak suka aku berlama-lama di sini.
Aku bangkit dan berjalan ke arah bangunan kelas Amanda. Aku merasa ada pusaran yang ganjil menyambutku. Akhirya aku bisa bertemu makhkuk itu. Tapi dimana dia?
Sekarang kakiku tepat menginjak teras kelas 8A. Mataku memeriksa ke segala arah. Apakah makhluk itu berada di lantai atas?Â
Astaga!
Ada gadis seusia Amanda terduduk dekat locker. Kepalanya menunduk dan wajahnya ditutupi rambut.Â
"Hai ....
Boleh kita mengobrol sebentar?"
Dia menatapku dengan pandangan sedih, tapi bibirnya masih terutup rapat.
"Kau ingin kuantar pulang?"
Gadis itu menggeleng.
"Tapi kenapa? Orang tuamu pasti menunggumu di rumah."
"Mereka tidak peduli padaku."Â
Ah, akhirnya dia mau bicara. Aku bertambah semangat. Semua akan segera selesai.
"Papa tak punya waktu untukku di akhir pekan. Dan mama tak peduli ketika aku mendapat nilai bagus dalam pelajaran menghitung. Mereka sibuk dengan pekerjaannya ...."
Aku terdiam. Apakah yang kupikirkan, sama dengan yang dia maksudkan?
"Aku turut sedih mendengarnya. Aku ingin membantumu. Mulai sekarang kita berteman ..." aku memberikan kelingking kananku.
Gadis itu diam beberapa lama.
"Asal kau mau berjanji tidak akan mencelakai murid-murid di sini lagi. Okey?"
Gadis itu menatap tajam, seolah aku baru saja mempermainkan dirinya.
"Kau jangan seperti ini. Selamanya kau tidak akan merasa tenang."
Dia menatap kelingkingku dengan ragu.
"Ayo, peluk aku."
***
Kota Kayu, 15 Desember 2022
Cerpen Ayra Amirah untuk Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H