Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Petaka Sebuah Malam

26 November 2022   05:46 Diperbarui: 26 November 2022   10:40 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Etsy dari Pinterest

Laki-laki itu memberingas, menganggap jerit kesakitanku seperti lolongan anjing jalanan. Aku pernah melihatnya saat kantongan yang dibawanya diendus tanpa permisi. Dia melemparkan sepotong roti dari dalamnya, tapi hewan itu sudah tak berdaya. 

"Tolong jangan dekati aku, Tuan." Aku menggigil. 

Dari sorot matanya terlihat iblis jahat siap melumat apa saja. Dia terus melangkah ke arahku, semakin dekat, sampai aku bisa mencium bau keringatnya.

Aku melihat ke segala sisi. Hanya ada jendela kaca yang kuncinya berkarat. Percuma. Laki-laki itu pasti tidak akan membiarkanku lolos. 

Pada malam-malam sebelum ini, laki-laki itu menyeret seorang wanita turun dari mobilnya. Mereka basah tersiram hujan, tapi terus menerobos masuk ke ruangan tengah. Terdengar wanita itu meronta-ronta seperti orang gila. 

Dia memangsa buruannya. Bahkan kepada sekretarisnya yang bernama Bertha. Lalu menghabisi nyawanya.

"Sadarlah, aku hanya gadis cacat..."

Dia melemparkan ludahnya. Lalu menyeringai seperti singa kelaparan. 

Air mataku mengalir. Dia melucuti dan merobek pakaianku. 

"Kau tidak bisa seenaknya, Tuan!"

"Kenapa?!" Akhirnya dia bersuara.

"Kau tidak menghargai wanita. Apakah ibumu telah dinodai di depan matamu?"

Dia menjambak rambutku. Sakit sekali. Aku menahannya sekuat tenaga. Dia membanting tubuhku ke lantai. Itu lebih baik.

Aku sudah mengenal laki-laki itu sejak kecil. Dia tak pernah menyapa, tapi selalu mencukupi kebutuhanku. Dia menyediakan seorang pengasuh untuk melayaniku.

Tapi malam ini, dia tertawa dengan muka culas. Dia menghampiriku, menggendongku ke tempat tidur.

"Kau sakit!" aku mencaci.

Laki-laki itu tak menggubris. Dia melakukannya, merusak malam dengan kejahatan yang sama seperti yang pernah dilakukannya kepada pengasuhku dan juga sekretarisnya.

Aku tidak ingin mati seperti mereka. Laki-laki itu sudah mengambilnya dariku. Apa yang harus kulakukan?

Aku merangkak turun, meraba sesuatu dalam laci. Aku menemukannya. Pengasuhku meninggalkannya saat dia memotong apel untukku.

Pisau itu berkilat dalam kamar yang gelap. Laki-laki itu masih dalam posisi terlentang menikmati kemenangannya.

Aku mencabiknya, memburai organ dalam perutnya. Gadis cacat yang kesetanan.

Kini gilirannya melolong seperti anjing jalanan. Aku pernah melihatnya saat kantongan yang dibawanya diendus tanpa permisi. Dia melemparkan sepotong roti dari dalamnya, tapi hewan itu sudah tak berdaya.

Pagi perlahan muncul di jendela. Aku memandangi laki-laki keparat yang berbau amis. Kedua matanya mencuat.

"Kau tidak bisa menghidupkan istri dan anak gadismu meski kau merenggut kehormatan semua wanita, Tuan. Mereka telah menjadi tumbal bisnismu dari kolegamu yang kejam."

"Apa?"

"Nona, apa kau baik-baik saja?"

Aku menatap dua orang laki-laki berseragam putih.

"Dia belum stabil. Ayo, suntik dia."

Aku tersengat. Tapi tenaga temannya lebih kuat. Aku pasrah.

***

Kota Kayu, 26 November 2022

Cerpen Ayra Amirah untuk Kompasiana

  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun