Laki-laki itu memberingas, menganggap jerit kesakitanku seperti lolongan anjing jalanan. Aku pernah melihatnya saat kantongan yang dibawanya diendus tanpa permisi. Dia melemparkan sepotong roti dari dalamnya, tapi hewan itu sudah tak berdaya.Â
"Tolong jangan dekati aku, Tuan." Aku menggigil.Â
Dari sorot matanya terlihat iblis jahat siap melumat apa saja. Dia terus melangkah ke arahku, semakin dekat, sampai aku bisa mencium bau keringatnya.
Aku melihat ke segala sisi. Hanya ada jendela kaca yang kuncinya berkarat. Percuma. Laki-laki itu pasti tidak akan membiarkanku lolos.Â
Pada malam-malam sebelum ini, laki-laki itu menyeret seorang wanita turun dari mobilnya. Mereka basah tersiram hujan, tapi terus menerobos masuk ke ruangan tengah. Terdengar wanita itu meronta-ronta seperti orang gila.Â
Dia memangsa buruannya. Bahkan kepada sekretarisnya yang bernama Bertha. Lalu menghabisi nyawanya.
"Sadarlah, aku hanya gadis cacat..."
Dia melemparkan ludahnya. Lalu menyeringai seperti singa kelaparan.Â
Air mataku mengalir. Dia melucuti dan merobek pakaianku.Â
"Kau tidak bisa seenaknya, Tuan!"
"Kenapa?!" Akhirnya dia bersuara.
"Kau tidak menghargai wanita. Apakah ibumu telah dinodai di depan matamu?"
Dia menjambak rambutku. Sakit sekali. Aku menahannya sekuat tenaga. Dia membanting tubuhku ke lantai. Itu lebih baik.
Aku sudah mengenal laki-laki itu sejak kecil. Dia tak pernah menyapa, tapi selalu mencukupi kebutuhanku. Dia menyediakan seorang pengasuh untuk melayaniku.
Tapi malam ini, dia tertawa dengan muka culas. Dia menghampiriku, menggendongku ke tempat tidur.
"Kau sakit!" aku mencaci.
Laki-laki itu tak menggubris. Dia melakukannya, merusak malam dengan kejahatan yang sama seperti yang pernah dilakukannya kepada pengasuhku dan juga sekretarisnya.
Aku tidak ingin mati seperti mereka. Laki-laki itu sudah mengambilnya dariku. Apa yang harus kulakukan?
Aku merangkak turun, meraba sesuatu dalam laci. Aku menemukannya. Pengasuhku meninggalkannya saat dia memotong apel untukku.
Pisau itu berkilat dalam kamar yang gelap. Laki-laki itu masih dalam posisi terlentang menikmati kemenangannya.
Aku mencabiknya, memburai organ dalam perutnya. Gadis cacat yang kesetanan.
Kini gilirannya melolong seperti anjing jalanan. Aku pernah melihatnya saat kantongan yang dibawanya diendus tanpa permisi. Dia melemparkan sepotong roti dari dalamnya, tapi hewan itu sudah tak berdaya.
Pagi perlahan muncul di jendela. Aku memandangi laki-laki keparat yang berbau amis. Kedua matanya mencuat.
"Kau tidak bisa menghidupkan istri dan anak gadismu meski kau merenggut kehormatan semua wanita, Tuan. Mereka telah menjadi tumbal bisnismu dari kolegamu yang kejam."
"Apa?"
"Nona, apa kau baik-baik saja?"
Aku menatap dua orang laki-laki berseragam putih.
"Dia belum stabil. Ayo, suntik dia."
Aku tersengat. Tapi tenaga temannya lebih kuat. Aku pasrah.
***
Kota Kayu, 26 November 2022
Cerpen Ayra Amirah untuk Kompasiana
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H