"Kau tidak menghargai wanita. Apakah ibumu telah dinodai di depan matamu?"
Dia menjambak rambutku. Sakit sekali. Aku menahannya sekuat tenaga. Dia membanting tubuhku ke lantai. Itu lebih baik.
Aku sudah mengenal laki-laki itu sejak kecil. Dia tak pernah menyapa, tapi selalu mencukupi kebutuhanku. Dia menyediakan seorang pengasuh untuk melayaniku.
Tapi malam ini, dia tertawa dengan muka culas. Dia menghampiriku, menggendongku ke tempat tidur.
"Kau sakit!" aku mencaci.
Laki-laki itu tak menggubris. Dia melakukannya, merusak malam dengan kejahatan yang sama seperti yang pernah dilakukannya kepada pengasuhku dan juga sekretarisnya.
Aku tidak ingin mati seperti mereka. Laki-laki itu sudah mengambilnya dariku. Apa yang harus kulakukan?
Aku merangkak turun, meraba sesuatu dalam laci. Aku menemukannya. Pengasuhku meninggalkannya saat dia memotong apel untukku.
Pisau itu berkilat dalam kamar yang gelap. Laki-laki itu masih dalam posisi terlentang menikmati kemenangannya.
Aku mencabiknya, memburai organ dalam perutnya. Gadis cacat yang kesetanan.
Kini gilirannya melolong seperti anjing jalanan. Aku pernah melihatnya saat kantongan yang dibawanya diendus tanpa permisi. Dia melemparkan sepotong roti dari dalamnya, tapi hewan itu sudah tak berdaya.