Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Wanita Bernama Aiseta

10 November 2022   05:09 Diperbarui: 10 November 2022   05:10 329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: ladyinlondon.com

Salju sudah lama turun di jalan-jalan, dan menimpa atap bangunan di desa asli yang kuno. Musim dingin tidak cocok untukku, sebab ide-ide untuk pekerjaanku ikut menjadi beku.

Aku berjalan cepat, sambil menenteng belanjaan. Ingin segera tiba di rumah, menikmati zosui dengan telur asin setengah matang.

Apakah wanita itu sudah sarapan? 

Aku teringat Aiseta. Wajah tirusnya yang murung, dan rambut hitam yang menjuntai. Ada perempuan kecil di sisinya, berusia sekitar lima tahun. Sepasang mata di bawah poni rambutnya, selalu menatap seperti aku orang asing.

Aku terus berjalan, menahan rasa dingin yang parah. Beberapa penginapan, ryokan, dan hotel bergaya Barat, juga membeku. Mungkin begitu pula dengan perasaan Aiseta. 

Seminggu yang lalu kami sempat bertemu. Aku mengajaknya minum teh karena itu adalah hari ulang tahun putrinya dan aku sudah menyiapkan kado. 

Dalam tulisan-tulisanku, kukatakan wanita adalah makhluk penyayang dan murah hati. Tetapi tidak dengan Aiseta. Dia mengabaikan permohonan maafku, dengan mengalihkan pandangannya pada bunga sakura yang diam. Lalu pulang, tanpa mempedulikan kakak ipar sepertiku.

Masalah ini mungkin belum lama, dua tahun yang lalu. 

Saat itu, aku kehabisan akal untuk menolak cinta seseorang. Dia sepertinya terobsesi dengan novel yang kutulis. Larut dalam alur cerita yang kubuat, sampai membuatnya mencari tahu dimana aku tinggal. 

Sebenarnya, wanita tak perlu memaksa pria beristri untuk mulai memperhatikannya, bukan? Lagipula ada banyak deadline yang harus kukejar.

Tapi wanita itu begitu nekat membawa kantong tidurnya. Dia berharap bisa menemuiku begitu aku membuka pintu. Bahkan sampai aku harus tinggal beberapa hari di toko milik temanku.

Saat itu aku belum menyadari dia seperti tokoh gelap yang pernah kutulis beberapa waktu sebelumnya. Sebelum aku beralih untuk menilai wanita dari sisi keibuannya.

Aiseta tampak menangis dengan linangan air mata. Suaranya memecah keheningan malam. Semua yang berada di ruangan rumah sakit ikut merasakan kepiluan hatinya.

Setelah tahun-tahun yang panjang mereka menantikan kehadiran seorang bayi perempuan, kini suaminya justru meninggalkan anak balita itu bersamanya. 

Tahun itu menjadi sangat kelam bagi Aiseta. Dia bukan hanya kehilangan ibunya di bulan yang sama, tetapi juga suaminya. 

Untunglah di tengah-tengah kehancuran batinnya, dia masih bisa bersikap waras. Dia menerima saran Nyonya Hoshiko untuk menyewa salah satu kios lokal di Nakazaki. Tetapi akhirnya sandiwara ini terbongkar juga. 

Aiseta sangat marah kepadaku, mengira aku telah membeli nyawa suaminya dengan sejumlah uang. Berpura-pura tak tahu tentang masalah ini, padahal kios itu sengaja kusediakan untuk dia mencari nafkah.

"Selamat pagi, Tuan Okonama. Mohon maafkan karena aku menunggu Anda di sini."

Aku terperanjat ketika sampai di pintu. Apa yang dilakukan Aiseta sepagi ini di sini?

"Di luar sangat dingin. Silahkan beristirahat di dalam."

Entah berapa banyak waktu yang kubutuhkan. Sejak istriku meninggal tahun lalu, aku semakin terbiasa mengerjakan urusan rumah sendirian. 

Salju masih turun di luar jendela, mengaburkan shima enaga yang  sejak tadi hinggap di ranting pohon, mengundang perhatian wanita itu untuk menatapnya.

"Silahkan nikmati makanan ini. Mungkin tidak seenak kalau wanita yang memasaknya."

Ah, kurasa cara bercandaku terlalu kaku. Mungkin karena melihatnya diam sejak tadi. Dasar bodoh, Aiseta tak mungkin bersikap ramah kepada orang yang sudah mencelakakan ayah dari putrinya.

"Aku menyukai masakanmu, Tuan. Terima kasih banyak."

Apa?

"Aku kesini karena memikirkan masa depan putri kami. Dia selalu menanyakan kapan ayahnya akan menjemputnya dari sekolah.

Menurutku kau adalah orang yang kejam. Mengapa kau tidak pernah memikirkan masalah ini? 

Kau tidak bisa mengembalikan nyawa suamiku, yang terjatuh dari apartemen karena menghindari serangan wanita gila penggemarmu. Kau menjebak saudaramu sendiri ke dalam bahaya.

Tapi kau bisa menebus kesalahanmu di masa lalu dengan hadir dalam kehidupan putri kami. Itu karena kalian saudara kembar dan sangat mirip."

Bagai disambar petir, jantungku berhenti dan semua sendiku menjadi kaku. Apa yang dikatakannya barusan?

Aku memang memanfaatkan kemiripan fisik kami untuk mengalihkan perhatian wanita penggemarku. Tapi aku tidak menyangka Sion akan bernasib malang.

Sekarang, kemiripan sebagai saudara kembar pula yang akan menjadi penebus kesalahanku?

***

Koya Kayu, 9 November 2022

Cerpen Ayra Amirah untuk Kompasiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun