Tapi wanita itu begitu nekat membawa kantong tidurnya. Dia berharap bisa menemuiku begitu aku membuka pintu. Bahkan sampai aku harus tinggal beberapa hari di toko milik temanku.
Saat itu aku belum menyadari dia seperti tokoh gelap yang pernah kutulis beberapa waktu sebelumnya. Sebelum aku beralih untuk menilai wanita dari sisi keibuannya.
Aiseta tampak menangis dengan linangan air mata. Suaranya memecah keheningan malam. Semua yang berada di ruangan rumah sakit ikut merasakan kepiluan hatinya.
Setelah tahun-tahun yang panjang mereka menantikan kehadiran seorang bayi perempuan, kini suaminya justru meninggalkan anak balita itu bersamanya.Â
Tahun itu menjadi sangat kelam bagi Aiseta. Dia bukan hanya kehilangan ibunya di bulan yang sama, tetapi juga suaminya.Â
Untunglah di tengah-tengah kehancuran batinnya, dia masih bisa bersikap waras. Dia menerima saran Nyonya Hoshiko untuk menyewa salah satu kios lokal di Nakazaki. Tetapi akhirnya sandiwara ini terbongkar juga.Â
Aiseta sangat marah kepadaku, mengira aku telah membeli nyawa suaminya dengan sejumlah uang. Berpura-pura tak tahu tentang masalah ini, padahal kios itu sengaja kusediakan untuk dia mencari nafkah.
"Selamat pagi, Tuan Okonama. Mohon maafkan karena aku menunggu Anda di sini."
Aku terperanjat ketika sampai di pintu. Apa yang dilakukan Aiseta sepagi ini di sini?
"Di luar sangat dingin. Silahkan beristirahat di dalam."
Entah berapa banyak waktu yang kubutuhkan. Sejak istriku meninggal tahun lalu, aku semakin terbiasa mengerjakan urusan rumah sendirian.Â