Salju masih turun di luar jendela, mengaburkan shima enaga yang  sejak tadi hinggap di ranting pohon, mengundang perhatian wanita itu untuk menatapnya.
"Silahkan nikmati makanan ini. Mungkin tidak seenak kalau wanita yang memasaknya."
Ah, kurasa cara bercandaku terlalu kaku. Mungkin karena melihatnya diam sejak tadi. Dasar bodoh, Aiseta tak mungkin bersikap ramah kepada orang yang sudah mencelakakan ayah dari putrinya.
"Aku menyukai masakanmu, Tuan. Terima kasih banyak."
Apa?
"Aku kesini karena memikirkan masa depan putri kami. Dia selalu menanyakan kapan ayahnya akan menjemputnya dari sekolah.
Menurutku kau adalah orang yang kejam. Mengapa kau tidak pernah memikirkan masalah ini?Â
Kau tidak bisa mengembalikan nyawa suamiku, yang terjatuh dari apartemen karena menghindari serangan wanita gila penggemarmu. Kau menjebak saudaramu sendiri ke dalam bahaya.
Tapi kau bisa menebus kesalahanmu di masa lalu dengan hadir dalam kehidupan putri kami. Itu karena kalian saudara kembar dan sangat mirip."
Bagai disambar petir, jantungku berhenti dan semua sendiku menjadi kaku. Apa yang dikatakannya barusan?
Aku memang memanfaatkan kemiripan fisik kami untuk mengalihkan perhatian wanita penggemarku. Tapi aku tidak menyangka Sion akan bernasib malang.