Aku terus memasang mataku, mengawasi gadis itu. Sepanjang hari dia membuang waktunya untuk hal-hal yang tidak kumengerti. Benar-benar pekerjaan yang menjemukan.
Tapi waktu lima tahun tidak sedikit juga. Aku selalu mengerjakan apa saja untuk Pak Alex, ayahnya. Sepertinya aku sudah ditakdirkan, aku tidak dapat keluar dari lingkaran mereka.
Pak Alex adalah orang penting di kementerian. Tetapi dia juga pebisnis, penyelundup berbahaya yang tidak tercium publik. Setidaknya saat ini semua berjalan aman.
Aku memelototi gadis itu, Elena masih tenang di tempatnya. Sepertinya menunggu seseorang, mungkin kekasihnya. Pemuda yang dipanggil Leo olehnya, bermata elang, dengan bentuk rahang yang keras.
Suasana kafe masih tetap sepi, hanya ada beberapa pria dan dua remaja di sudut lain.Â
Kopiku sudah habis dua cangkir. Perutku keroncongan, tapi aku kurang suka makan camilan. Seharusnya aku mampir ke warung Jogja tadi. Menunya enak-enak, apalagi telur bacem, kesukaanku sejak dulu. Ah, semakin membuat kelaparan.
Seorang penjaja keliling melintas tiba-tiba. Elena memanggilnya. Dia mengeluarkan beberapa bungkus makanan dari dalam tas perempuan itu, lalu menyerahkan banyak sekali uang.Â
Perempuan itu tidak beranjak, melainkan duduk di salah satu kursi. Mereka bercakap-cakap.
"Ibu sehat saja?"Â
"Iya Nak."