Pernah menghadapi sikap anak yang menolak kata-kata kita, orangtuanya? Apa yang kita lakukan saat anak usia di bawah sepuluh tahun, menolak disuruh mandi, atau belajar, atau shalat di masjid?
Mendidik anak bukan persoalan mudah. Juga tidak dapat dilakukan secara mendadak.Â
Mendidik membutuhkan proses yang tidak sebentar, dimulai dari lingkungan keluarga anak itu sendiri. Orangtua, saudara, dan kerabat yang berinteraksi sehari-hari. Bagaimana keadaan keluarga sekarang, akan mempengaruhi karakter anak nantinya. Terdengar serius?
Sahabat pembaca, izinkan saya membagikan sedikit materi dari seminar parenting yang saya ikuti beberapa hari lalu.
Tipe orangtua yang membuat anak frustasi
Ada banyak keterkejutan bagi orangtua saat melihat sikap anaknya yang tidak sesuai harapan. Prestasi yang buruk, kenakalan di luar batas, bahkan aib yang mencoreng nama baik keluarga.
Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Peribahasa ini dapat kita gunakan sebagai sarana introspeksi diri, apakah sebagai orangtua secara tidak sengaja kita sudah mewariskan sifat dan kebiasaan tidak baik kepada anak-anak?
Atau jangan-jangan kita termasuk tipe orangtua yang menyumbang pengaruh negatip bagi anak-anak?
Tidak salah jika kita mengkritisi diri, guna mencari perbaikan-perbaikan ke depannya. Jangan sampai anak kita mempunyai alasan untuk mengalami kebosanan, rasa sepi, rasa marah, tertekan, dan lelah mental. Inilah anak yang frustasi dalam keluarga.
Sebagai contoh, orangtua meminta anaknya bersikap jujur, namun tanpa disadari orangtua sering melakukan hal yang dilarangnya. Anak melihat, merekam dalam pikirannya, dan pada gilirannya akan berbuat hal yang sama, bahkan bisa lebih parah.
Ada juga orangtua yang suka membanding-bandingkan anaknya dengan anak lain. Tujuannya untuk menggugah semangat agar anak berhasil lebih baik lagi. Sayangnya, dalam konteks ini orangtua akan cenderung menggunakan bahasa yang menjatuhkan anaknya sendiri.
Bagaimana dengan orangtua yang memaksakan keinginan kepada anaknya? Ini pun merupakan pola asuh yang kurang baik. Tidak jarang hal ini diiringi dengan kata-kata kasar dan ancaman, bukan? Lama kelamaan anak akan merasa tertekan dan depresi karena terus berada di bawah kendali orangtuanya.Â
Ada lagi tipe orangtua yang abai saat anaknya bercerita tentang kegembiraannya di sekolah, atau curhat tentang dunia remaja yang merisaukannya.
Padahal, anak juga membutuhkan perhatian secara psikologis, selain kebutuhan pangan dan sandang saja yang biasanya menjadi fokus orangtua.
Orangtua bertengkar di depan anak, juga akan membawa dampak tidak baik bagi anak, nantinya. Alangkah baiknya bila orangtua dapat memberi contoh, saat timbul konflik dalam keluarga, membicarakan permasalahan sambil duduk dengan kepala dingin. Dan contoh-contoh lainnya.
Tidak semua keluarga baik-baik saja
Jika kita lihat, berbagai kondisi di masyarakat turut menciptakan keluarga yang berbeda-beda. Baik secara ekonomi, ketaatan beragama, dukungan terhadap pendidikan, bahkan banyak keluarga yang sudah tidak utuh atau broken home.
Aspek kehidupan, sebagian berjalan di luar kendali manusia. Kita tidak dapat merubahnya. Tetapi sebagian lagi dapat diusahakan dengan langkah-langkah nyata.
Lalu, apa yang dapat dilakukan orangtua untuk menciptakan keadaan keluarga yang ideal untuk membentuk anak cerdas berkarakter?
Pertama, mulailah dengan memahami kondisi anak-anak kita
Ingatlah ada 9 kecerdasan majemuk yang dikemukakan Howard Gardner, seorang ahli psikologi dari Harvard university, dalam bukunya: Frames of Mind:Â The Theory of Multiple Intelligences.
Apa saja kecerdasan majemuk tersebut?
- kecerdasan naturalis, anak senang berkebun, memelihara hewan, berkemah, dan wisata alam terbuka
- kecerdasan visual spasial, anak suka membaca dan menulis, menafsirkan gambar atau grafik dengan baik, suka menggambar dan melukis, serta senang menyusun teka-teki
- kecerdasan intra personal, anak peka terhadap emosi, perasaan, dan mensugesti dirinya sendiri. Suka melamun untuk menganalisa diri sendiri
- kecerdasan interpersonal, anak dapat berkomunikasi verbal dan nonverbal dengan baik, mampu melihat dari sudut pandang berbeda, mampu menyelesaikan konflik dalam kelompok
- kecerdasan musikal, anak mudah mengingat ritme, suara, suka menyanyi, dan dapat memainkan alat musik
- kecerdasan linguistik verbal, anak suka berdebat, berpidato persuasif, dan mampu menjelaskan sesuatu dengan baik
- kecerdasan logika matematika, anak suka memikirkan ide-ide abstrak, mampu memecahkan masalah yang berpola, mampu menyelesaikan perhitungan yang rumit, dan tertarik melakukan eksperimen ilmiah
- kecerdasan kinestetik jasmani, anak terampil dalam hal olahraga atau menari, suka menciptakan sesuatu dengan tangannya, mudah mengingat dengan cara melakukan/praktek
- kecerdasan eksistensial, anak suka memikirkan asal-usul manusia, sampai peristiwa setelah kematian. Kecerdasan ini lebih mengarah ke filsafat dan spiritual
Kedua, terus tambah ilmu yang dimiliki
Menjadi orangtua yang mendidik, mustahil dapat dilakukan tanpa adanya penguasaan ilmu. Orangtua dapat belajar dari mana saja tentang pola asuh yang baik. Termasuk mendengarkan pengalaman orangtua kita, lalu menyelaraskannya dengan keadaan sekarang.Â
Seperti prinsip pengajaran bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara, ing ngarso sung tulodo, di depan, orangtua memberi keteladanan.
Dan juga sebagaimana yang diajarkan Rasullah SAW, mendidik dan berbicara kepada anak-anak dengan lemah lembut.
Menjadi orangtua yang sok kuasa atau powerfull, hanya akan mendatangkan sikap antipati dari anak-anak kita.
Ketiga, jadilah orangtua yang bahagiaÂ
Ketika orangtua semakin disibukkan dengan kehadiran anak-anak di rumah mereka, ada kalanya fisik dan pikiran terkuras tanpa bisa dikontrol lagi.
Kemudian, sekali dua kali keluhan pun terlontar.Â
Kesulitan hidup semakin menghimpit, ditambah kurangnya waktu untuk menyenangkan diri.
Dalam situasi ini, orangtua harus cepat-cepat menyadari dan memperbaiki keadaan mentalnya. Mulai menciptakan kebahagiaan di dalam hatinya.Â
Tidak harus dengan cara yang muluk, tetapi bisa dengan bersantai mengendurkan pikiran.
Tanpa hati yang bahagia, tugas mengasuh dan mendidik anak-anak niscaya akan terasa sebagai beban. Dikhawatirkan ini akan memicu kekerasan pada anak.
Keempat, lakukan hypno teaching
Hypnoteaching adalah seni berbicara dengan mengandalkan alam bawah sadar untuk membangun pikiran positip.Â
Teknik hypnoteaching meliputi: motivasi, menyamakan, mengarahkan, mengapresiasi, dan memberi contoh.
Misalnya, seorang ibu bersama-sama dengan putrinya menikmati bacaan komik. Kemudian, sedikit demi sedikit si ibu mulai mengatakan hal-hal positip untuk mempengaruhi pikiran putrinya. Si ibu memberikan alasan mengapa membaca komik tidak boleh dilakukan seharian atau hingga larut malam.Â
Tanpa menggunakan kata 'jangan', si ibu dapat menyampaikan apa yang dia inginkan terhadap putrinya.
"Semoga ya, besok kakak tidak teelambat ke sekolah. Kita bisa membaca sampai jam sepuluh malam dan bangun sebelum jam enam pagi. Sebab, besok ada upacara peringatan hari Sumpah Pemuda, kan?"
Semoga bermanfaat.
Ayra Amirah untuk Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H