Onkologi. Aku membaca tulisan di atas pintu, lalu masuk mengikuti arahan suster penjaga.
Wajah dokter Lukman yang menangani Kak Miranda dari awal, tampak lebih dingin dari gerimis di luar.Â
Beberapa menit kami bicara, namun yang dibutuhkan hanyalah kesepakatan.
Aku duduk dengan menatapnya penuh harap, tapi sia-sia belaka.
"Sebaiknya keluarga membawa pulang pasien, kami sudah memberikan obat dan tindakan terbaik."
"Tapi Dok, hasil CT Scan-nya baru saja keluar. Apa tidak perlu terapi lanjut?
Maksud saya mengapa ada warna putih yang tidak wajar di sana. Apa tulangnya mengalami..." aku tak melanjutkan pertanyaanku. Percuma.
Selasa siang, empat hari setelah Kak Miranda dirawat di kamarnya, keadaannya memburuk.Â
Sel kanker memang telah menyerang hampir semua bagian tubuhnya. Payudara, paru-paru, tulang, dan merembet ke otak. Sementara dia juga mulai mengalami infeksi saluran kemih.
Aku menggenggam tangan Kak Miranda. Hangat, namun tidak bertenaga sama sekali. Matanya memejam, dan bibirnya mengukir sebentuk senyum.
Aku terus berada di sisinya, menggenggam tangannya, dan berusaha melupakan dia adalah kakakku sendiri.
Semasa kecil kami selalu bermain bersama. Yang satu menaiki sepeda, dan yang lainnya mendorongnya. Kami tertawa bahagia, meski konyol sebenarnya.