"Sampai jumpa, Paul."
"Ya, telepon aku kalau sudah sampai rumah, ya?"
Aku mengangguk, lalu menutup pintu kamar 620 tempat Paul menginap.
Aku tidak langsung melangkah, tapi diam sesaat menata perasaanku. Aku harus pulang sekarang betapapun beratnya. Hari mulai beranjak senja, aku tidak boleh kemalaman sebab pandangan mataku akan dikalahkan oleh silau lampu kendaraan.
Perjumpaan kurang dari sejam lamanya, memang tidak mengobati rindu kami satu sama lain. Tapi yang penting Paul dan rombongannya sudah landing dengan selamat. Biarlah malam ini dia istirahat, besok kami bisa sarapan bersama.
*
Aku mulai menarik kakiku ke arah kiri, sebab tadi kami datang mengarah ke kanan.
Perlahan aku menyusuri karpet tebal yang membentang sejauh mata memandang. Rasanya empuk dan menyenangkan menginjaknya. Seolah sedang berada dalam ruang kedap suara, aku sendiri tak mendengar sepatuku beradu dengan lantai. Hilang ke dalam anyaman benang.
Aku memperhatikan dominasi warna coklat dan biru di permukaan lantai. Menurutku motif garis abstrak yang membentuknya terlihat menyimpan misteri. Sepintas mirip barisan zombie atau semacam itu. Mereka hanya diantarai lampu neon yang bercahaya kuning.Â
Cobalah sedikit mendekatkan kepalamu ke lantai. Aku melakukannya tadi seperti angle foto frog eyes atau mata katak. Itu adalah sudut pandang fotografi dimana kamera berada di bawah objek dan sedikit mengarah ke atas.
Mungkin saja tingkahku ini tertangkap oleh kamera, tapi tak apa, aku tidak mengotori atau merusak sesuatu di sini, bukan?
*
Pfff... aku merasa tak nyaman dengan khayalanku sendiri.Â
Lebih baik sekarang aku mulai berkonsentrasi mencari jalan keluar dari sini, daripada berimajinasi hal yang aneh-aneh.Â
Firasatku mengatakan pemandangan monoton bisa menjadi awal yang buruk. Betapa tidak, hanya ada pintu kayu yang ditutup rapat, lampu, serta speaker berbentuk kotak di plafon.Â
Aku terus menikmati langkah kakiku. Ayolah, dimana pintu lift yang tadi kami naiki? Sepertinya ini sudah terlalu jauh.
Alunan instrumen tradisional suku dayak masih terdengar. Samar dan jauh. Sepertinya sengaja diputar untuk memberitahu tamu hotel bahwa mereka sedang berada di Kota Kayu. Kota yang dikelilingi banyak hutan yang didiami suku pedalaman nan mistis.
Apakah sekarang hari Kamis?Â
Oh, sepertinya bukan. Paul dijadwalkan tiba hari Sabtu. Ya, ini hari Sabtu.
Nah, nah... aku salah jalan dan mentok pada dinding kaca hotel. Aku bukannya menemukan pintu lift.Â
Tunggu, sepertinya di bawah sana adalah sisi depan hotel. Jadi seharusnya aku mengambil arah...
Tiba-tiba aku ingat kelemahanku.Â
Selama ini aku tak pernah ingat rute apapun yang pernah kulalui. Bahkan jalan perkampungan yang diisi bangunan-bangunan berbeda, sulit kukenali. Apalagi ini?
Mungkin sebaiknya aku menelepon Paul dan minta diantar sampai lobby.
Ah, tapi itu bukan ide yang bagus. Bisa saja saat ini dia sedang mandi setelah seharian melakukan perjalanan. Sempat terjebak macet, bahkan menunggu delay pesawat.Â
Tapi, kenapa benar-benar tidak ada orang yang bisa kutanyai di sini? Seharusnya ada orang lain, atau minimal boy room yang lewat.
Aku terus berjalan, sambil berusaha mengingat dimana titik aku berbelok tadi.
Tapi seandainya aku tetap tersesat dalam lorong kamar dengan alunan sampek, bagaimana?
Ups, biar kufoto dulu. Lumayan, karena dalam kelas fotografi waktu itu aku gagal menemukan objek leading line. Sebaiknya aku lupakan tentang zombie dan instrumen mistis itu. Berpikirlah realistis di saat kamu sedang sendirian dan butuh pertolongan!
Ya Tuhan, syukurlah! Ternyata pintu lift yang kucari nyempil di sini. Kenapa tadi aku tidak melihatnya, yaa? Dan aku juga tidak melihat ada ruang kecil dengan dinding kaca di bagian tengah sini. Di situlah letak lift.
Ah, sudahlah. Ayo cepat tekan lantai dasar, atau kamu akan kemalaman!
*
"Halo?Â
Oh, jadi kamu sudah sampai? Aku bisa tidur dengan tenang malam ini, kalau begitu..." seloroh Paul di layar ponsel. Dia mengganti panggilan telepon menjadi video.
Aku hanya membentuk senyum.
Sepertinya aku yang akan sulit tidur, malam ini. Barisan zombie dan lampu neon berwarna kuning itu terasa nyata dalam kepalaku. Menyeringai dingin, menatapku dalam lorong yang sepi.
Heuheu...
***
Kota Kayu, 29 September 2022
Cerpen Ayra Amirah untuk Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H