Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Anak Kecil dan Doa yang Sederhana

5 September 2022   08:28 Diperbarui: 8 September 2022   21:31 1199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi doa malam. (sumber: pixabay.com/Syaibatulhamdi)

[Kado ulang tahun untuk si bungsu yang suka sekali digendong hambin oleh Abah atau Ibunya]

Anak kecil sudah sejak dulu dianggap identik dengan permainan apapun yang menggodanya. Seperti orang dewasa yang mengunjungi taman, duduk di bangkunya sambil memasukkan popcorn ke dalam mulut.

Tetapi gadis kecil itu, Prameswari, tidak menyukai permainan jenis apapun yang dilihatnya. Baik petak umpet, ular naga panjangnya, ataupun squid game yang terbaru itu.

Baca juga: Kado untuk Anakku

Dia bermain-main di dalam pikirannya sendiri, tentang keinginannya yang melayang-layang di kepala dan belum terwujud. Dia ingin merasakan punggung ibunya, digendong hambin.

Prameswari memang hanya menginginkan itu. Setiap malam sebelum mimpi membawanya, dia melambungkan doanya. Dia ingin bermanja-manja dalam gendongan di punggung ibunya. Tubuh depannya menempel di punggung belakang ibunya, sambil tangannya memeluk dan ibunya menahan bokong gadis itu.

Malaikat yang mendengar doanya, menilai keinginan Prameswari amatlah sederhana. Namun malaikat tidak bisa membantunya mendapatkan keinginannya. Anak itu, yang pada hari ini genap berusia enam tahun, tidur di atas bantalnya seusai memanjatkan doa.

Aku melihat pada tengah malam itu ibunya terbangun dan memunguti pakaiannya di atas kasur. Dia memakainya lalu mendekat ke kamar putrinya.

Dia sampai di sisi tempat tidur gadis kecil yang tenggelam mengarungi malam. Dia memperhatikan bagaimana sebelah tangan Prameswari merangkul boneka beruang besar dan tangan.lainnya menjuntai di sisi bantal.

Baca juga: Kaos Kaki Polkadot

Wanita itu menyentuh rambut putrinya dan membuat gerakan mengelus sambil bergumam, "Selamat ulang tahun, Nak. Maaf ibu menunda kadomu sampai akhir pekan depan yaa. Kita tunggu ayah gajian dari pabrik."

Bergeming, gadis kecil itu tak menunjukkan baru saja mendengar sesuatu. Sementara ibunya terus berpikir putrinya akan sumringah begitu membuka kotak kado dengan sebuah gaun biru muda di dalamnya.

Siapa yang bisa mengatakan pada wanita itu bahwa putrinya ingin merasakan punggungnya? Prameswari ingin digendong hambin berkeliling di dalam rumah saja sebelum dia tumbuh lebih besar lagi.

Maka ketika pekan depan tiba, gadis kecil itu duduk manis dengan kotak kado di tangannya.

"Ayo, bukalah Nak, Adek pasti senang..." ibunya sumringah tetapi gadis kecil itu menatap gamang.

Ibunya membantu Prameswari, dibukanya pembungkus kado bergambar Putri Elsa yang disukai putrinya. Sebentuk gaun biru muda dengan sembilan puluh sembilan persen kemiripan dengan yang dilihatnya di televisi.

*

Prameswari, gadis kecil itu, belum pernah lupa memanjatkan doa sebelum tidur. Tetapi ketika dia terlelap, mimpi membawanya ke sebuah tempat yang baru. Sebuah ladang jagung atau semacamnya, tetapi dengan terlalu banyak jenis bunga yang disukainya.

Iya, Prameswari suka bunga. Ibunya adalah orang yang mengenalkannya sejak usianya masih empat tahun. Mereka sering menikmati pagi di jalan dekat rumahnya. Ayahnya mendorong kursi roda dan dia berjalan di dekat ayahnya.

Setiap kali melihat bunga liar di sepanjang tepi jalan, ibunya berseru dan meminta Prameswari memetiknya. Ibunya mengumpulkannya dalam sebuah keranjang mainan milik putrinya. Sesampainya di rumah ibunya memberitahu nama-nama bunga yang dibawanya.

Di dalam mimpinya, gadis itu seolah dibuat lupa dengan kesedihannya. Dia berjalan dalam keremangan lampu sumbu, bersama boneka kelinci dan boneka perempuan yang dia beri nama Cilly. Mereka akan mencari bulan di ladang, atau bintang-bintang sahabat bulan.

Iya. Anak kecil sudah sejak dulu dianggap identik dengan permainan. Tetapi Prameswari tidak menyukai permainan jenis apapun yang dilihatnya. 

Dia sangat ingin merasakan punggung ibunya, dia ingin digendong hambin oleh ibunya, sambil berkeliling di dalam rumah saja.

Tiba-tiba gadis kecil itu melihat bulan, tersenyum dari balik cabang pohon angsana. Sinarnya keemasan, lebih twrang dari lmpu sumbu di tangannya.

"Cilly, lihat itu bulan, di sana..." dia menunjuk, wajahnya sumringah.

"Bulan yang cantik!" seru boneka kelinci sambil melomoat-lompat kegirangan.

"Tapi ibuku lebih cantik. Ibuku sangat penyayang!"

Aku melihat, pada tengah malam itu ibunya terbangun karena mendengar putrinya mengigau lagi. 

Dia sampai di sisi tempat tidur gadis kecil yang tenggelam mengarungi malam. 

Kini gadis itu berusia enam tahun tujuh hari. Dulu dia memberi nama bayi mereka Prameswari, yang artinya jalan kehidupan yang tentram, merdeka, bahagia dan sempurna. 

Prameswari tahu tubuhnya akan semakin membesar dan kakinya semakin meninggi. Tidak jarang matanya berkaca-kaca setiap kali menerima suapan dari ibunya. 

Sayur wortel dan yang lainnya akan membuat dia semakin jauh dari keinginannya. 

Prameswari ingin bermanja-manja dalam gendongan di punggung ibunya. Tubuh depannya menempel di punggung belakang ibunya, sambil tangannya memeluk dan ibunya menahan bokong gadis itu. Digendong hambin, namanya.

Wanita itu menyentuh rambut putrinya dan membuat gerakan mengelus sambil berguman, "Adek bermimpi lagi?"

Gadis kecil itu membuka matanya, menatap wajah ibunya yang dianggapnya bidadari. Bidadari selalu cantik dan baik hati. Itu yang dia tahu dari buku dongeng.

Dia beranjak dari tempat tidur, menghampiri ibunya dan memeluk dengan penuh kerinduan.

Setelah puas memeluk dan air matanya meleleh turun, dia melepaskan pelukannya dan menatap ibunya dengan polos.

"Kapan ibu sembuh? Kapan ibu bisa berdiri dan menggendong adek? Cobalah keluar dari kursi roda ini, Bu. Cobalah berjalan seperti waktu adek kecil..."

Aku melihat pada tengah malam itu, keduanya kembali berpelukan dan menangis.

***

Kota Kayu, 5 September 2022

Cerpen Ayra Amirah untuk Kompasiana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun