Di lain pihak, Luna sadar pernikahan telah menuntutnya untuk berkorban. Mana mungkin dia bisa fokus bekerja saat sudah mempunyai anak.
Bagaimana kalau bayi mereka sakit panas? Atau mereka punya anak lagi. Dan bagaimana kalau anak itu kembar?
Luna benar-benar pusing karena over thinking nya.Â
Untung saja, beberapa menit sebelum jam pulang, suaminya menelepon. Mereka akan jalan-jalan di taman. Sudah cukup lama mereka tak melakukannya.
*
"Maaf Sayang, aku terlambat!" Luna tergopoh.
Suami Luna tersenyum. "Aku yang datang lebih awal. Jangan khawatir. Oya, ini bunga untukmu..."
Luna menyambut bunga kesukaannya dengan seulas senyum bahagia, lalu menciumi semerbak wanginya. Sudah satu minggu sejak suaminya boleh pulang dari rumah sakit, Luna menantikan hari seperti hari ini.Â
Dan menjadi minggu yang terlalu panjang, karena keduanya saling melakukan introspeksi diri.
"Sayang, aku menikahimu untuk membuatmu bahagia," suami Luna berkata pelan.
"Dan aku sudah memutuskan untuk mendukungmu mendedikasikan diri.
Bukankah kiprah wanita dibutuhkan dalam berbagai bidang kehidupan?Â
Rasanya tidak adil bila aku tidak mengizinkanmu karena kodrat untuk mengurus keluarga. Aku akan membantumu mengurus anak-anak kita..."