Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gadis Kecil di Balik Tiang

7 Juli 2022   07:37 Diperbarui: 7 Juli 2022   07:48 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari arsitektur bangunan, dia sudah terpesona dengan wajah Gaeta, kota pantai di Italia tengah, selatan Roma. Dia pun sibuk memotret dengan kamera baru, hadiah dari suaminya. Termasuk paket tour kali ini.

Melihat penampilannya, orang akan tahu dia hidup bahagia karena mendapat curahan kasih sayang berlebih. 

Bukankah ini yang diimpikan setiap wanita dari pernikahannya, lalu mengapa dia dibawa ke psikiater dan tersedu-sedu di sana?

dr. Shania, Sp.KJ yang duduk di hadapannya, menatap penuh perhatian, membujuk dan melayani wanita itu dengan sabar.

Dia sendiri tak habis pikir dan tak pernah setuju untuk dibawa suaminya ke dokter spesialis seperti ini. Dia tidak sakit mental, tidak terganggu jiwanya sedikitpun, atau apapun.

Pada akhirnya dia menyadari, dokter ahli itu tak menakutkan sama sekali. Dia tersenyum layaknya sahabat, menunggu kapan dia mau bercerita, tanpa sedikitpun desakan.

Dia memulai kisahnya saat meminta hadiah istimewa untuk ulang tahunnya ke empat puluh tiga. Dia sudah lama ingin mengunjungi kota tua di semenanjung Tyrrhenia ini, yang selalu dia lihat dalam brosur liburan terbaik.

Kesulitan pertama, tentang menentukan waktu yang tepat meminta izin cuti bagi suaminya dari kantor. Kedua, berkaitan dengan musim yang berlangsung sekarang dan apakah ini tepat untuk sebuah jalan-jalan?

Singkat cerita, dia dan suaminya sudah berada di sana dengan dada yang membuncah bahagia. Gaeta, kota paling cantik di wilayah Lazio, dengan suasana musim panas yang ceria. Akhirnya keinginannya bisa tercapai.

Tetapi...

Masalah pertama sudah dia alami saat tiba di hotel bersama suaminya. Kunci yang mereka gunakan mengalami error dan waktunya untuk beristirahat jadi terbuang.

Sarapan pertama di hari kedua sebagaimana tertulis dalam schedule buku panduan, berupa kerang lokal yang lezat di restoran tepi pantai, ternyata tidak disukainya.

Akhirnya dia mengambil buah zaitun Gaeta yang dikenal di seluruh dunia yang berasal dari kota Itri. Dia dan suaminya sepakat ini memang luar biasa.

"Adakah sesuatu yang buruk, lebih buruk dari itu?" tanya dr. Shania sambil menatap penuh perhatian.

Dia mengingat-ingat. Atau dia tak sanggup mengingat semuanya.

Dalam seminggu rasanya terlalu banyak kejadian yang dia dan suaminya alami. Mulai dari menonton orang berselancar di pantai Sant'Agostino, sebelah utara kota, lalu mendaki Monte Orlando, melihat reruntuhan kuno, mengembara di jalan-jalan sempit dan tua, berbelanja dan makan enak tentunya.

Bahkan ketika membuka pc dan melihat foto-foto dari kamera barunya, dia dibuat takjub dengan hasil yang indah tentang perjalanannya. 

Pakaian dan berbagai benda mahal yang dimintanya dari suaminya, masih terbungkus rapi dari ekspedisi. Kecuali beberapa souvenir, sudah banyak dia bagikan kepada kerabat dan para sahabat.

"Apa lagi yaa?" dia mencoba mengingat-ingat.

"Ada yang membuatmu marah, kesal, atau ingin segera pulang, saat itu?" tanya dr. Shania hati-hati.

Seketika wajahnya menegang, kaku. Darah di semua pembuluh darahnya berlarian secara tak terkendali. Dia mengingatnya!

Dia tahu persis ketika menikmati bagaimana nelayan melakukan "pasar" di sepanjang Lungomare (jalan tepi pantai), dia melihat seorang gadis kecil menyelinap di balik tiang.

Suaminya tak melihat hal yang sama, gadis kecil dengan pakaian gipsi, kumal dan menatapnya penuh arti.

Ketika dia memalingkan wajah karena merasa tak nyaman, gadis itu muncul lagi di balik tiang yang lain, pada saat berikutnya. 

Gadis kecil itu menatapnya tak berkedip, menyeringai, dan seolah berkata sesuatu dengan bahasa yang tidak dia pahami.

Tentu saja dia sudah menjelaskan kepada suaminya. Namun di antara keramaian saat itu, hanya dialah yang dapat melihat gadis itu.

"Anda tidak mengenalnya? Kalau begitu mungkin gadis itu adalah gelandangan yang mencoba mengemis?" tanya dr. Shania berusaha meyakinkan.

Dia menggeleng dan mengatakan dia sudah mencoba menyerahkan beberapa uang, bahkan roti yang sengaja dibawanya. Gadis aneh itu bahkan menjauhinya.

Di hari terakhir tour mereka, dia baru ingat, gadis kecil berambut hitam dan bola mata hitam itu, juga muncul saat mereka sampai di gunung untuk menyaksikan pemandangan laut yang menakjubkan. 

Di sekitar Mausoleum (makam Romawi kuno) Lucius Munatius Plancus, gadis itu seolah sengaja membuntuti dia dan suaminya, menunggu saat yang paling tepat untuk menyampaikan pesan.

"Akhirnya dia menyampaikan pesan?" dr. Shania penasaran.

Dia mengingatnya, gadis kecil itu pernah melemparkan secarik kertas kumal yang belum dibukanya sampai sekarang.

Seminggu kemudian...

Dia, wanita itu, datang bersama suaminya, ke psikiater yang sama, dr. Shania, Sp.KJ tanpa sedu sedikitpun.

Dokter ahli itu tahu, dia merasa lebih baik karena telah melepaskan sebagian endapan di kepalanya, sebelumnya.

Dengan senyum ringan dia menyerahkan gumpalan kertas yang tampak kumal dari dalam tasnya. 

Wajah tenangnya berubah drastis, saat kertas itu dibuka di atas meja. Dia terperangah, lalu tertawa geli sekaligus bahagia, juga mentertawakan dirinya begitu lama.

"Anda tahu sesuatu?" dr. Shania mengerutkan alisnya keheranan, sama persis dengan mimik suaminya yang memandang dari sofa.

Perlahan dia menghentikan suara tawanya, berusaha tenang dan mengatur napasnya normal seperti semula.

Dia baru menyadari betapa konyol dirinya, karena merasa takut dan sangat terganggu pada gadis kecil itu.

Ternyata secarik kertas bekas ini hanya berisi gambar sketsa dari goresan pensil milik seorang anak, yang mungkin sebenarnya ingin dia tunjukkan kepada ibunya. 

Mungkin gadis itu menganggap dia seperti ibu kandungnya, yang entah kemana. 

Semua anak pada usia itu selalu berekspresi dengan gambar lucu dari tangan mereka sendiri, berisi apa yang ada dalam benaknya, lalu dia tunjukkan kepada orang tuanya sebelum dia beranjak tidur malam.

***

(teruntuk anakku yang selalu menunjukkan hasil gambarnya)

Kota Kayu, 7 Juli 2022

Cerpen Ayra Amirah untuk Kompasiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun