Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kematian dalam Bathup

16 Mei 2022   07:33 Diperbarui: 16 Mei 2022   08:00 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ruangan itu segera dipenuhi beberapa polisi dan juru berita. Ada juga nyonya Marie, kepala detektif yang sudah terkenal ketajaman intuisinya.

Ah, apakah pekerjaan seperti itu memerlukan intuisi? Kurasa hanya kebetulan, karirnya memang ditakdirkan cemerlang.

Sebenarnya kepalaku agak pening. Aku sudah terlambat makan beberapa jam, ditambah pemandangan orang berlalu-lalang. Sementara tuan Gani tak terlihat batang hidungnya sejak tadi.

Aku memilih duduk di sebuah kursi agak di pojok. Rasanya cukup membosankan mengawasi orang-orang itu mengambil gambar dan mengecek sana-sini. Apalagi memikirkan pekerjaanku akan tamat dalam hitungan hari.

Orang-orang kaya memang sering bertingkah, menurutku. Mereka terlalu mempunyai banyak keinginan dan berambisi tentang hawa nafsunya.

Tuan Gani bisa dibilang tidak begitu ramah kepada orang-orang yang bekerja di rumahnya. Mungkin karena dalam kepalanya hanya ada urusan bisnis. Wajahnya juga jarang tersenyum apalagi tertawa.

Berbeda dengan nyonya Martha, istrinya. Wanita berkulit tipis itu punya bola mata yang jernih dan suara yang sederhana. Di waktu-waktu senggang, dia sering membagikan roti daging untuk kami nikmati.

Saat suaminya sudah pamit bekerja, biasanya nyonya Martha menghabiskan waktu di kebun kecilnya. Mencium bunga-bunga rose yang mekar, atau memerintahkan si jangkung Joni untuk mengisi pot-pot baru dengan tanaman.

Begitulah, kalau bukan berlatih olah tubuh yang dilakukan persis menempati permadani rumputnya. Aku sesekali mengintip dia melakukan beberapa gerakan yang membuatku tersenyum geli. Sambil memastikan tempat duduk dan pembatas kaca benar-benar bersih dari debu.

Elvara adalah satu-satunya putri mereka yang sempat sebelas tahun dinantikan kehadirannya. Saat itu berusia tujuh tahun dan tidak ada di rumah karena diantar supir ke sekolahnya.

Sebenarnya nyonya Martha sangat ingin mengurus usaha farmasinya. Tetapi dia menurut saja saat tuan Gani memintanya mengawasi putri mereka dua puluh empat jam.

Menurutku mereka bukanlah pasangan yang romantis. Keduanya jarang melakukan liburan bahkan baru bertemu pada jam makan malam setiap hari. Tetapi mereka juga jarang bertengkar karena nyonya Martha bukan tipe penuntut.

Aku masih ingat bagaimana dia diabaikan saat ulang tahunnya ke setengah abad. Saat itu Elvara berusia empat belas tahun dan mendorong nyonya Martha membuat perayaan seperti wanita pada umumnya.

Usia lima puluh tahun seperti rumah baru bagi semua wanita. Dia akan meninggalkan rumah yang lama dan memutar kunci rumah barunya.

Di masa-masa muda mungkin dia akan produktif dan dipenuhi prestasi. Tetapi pasti tiba waktunya menjadi tua dan keriput.

Semua wanita mulai menyesuaikan diri dengan kelebihan dan kekurangan yang dimiliki. Penghargaan yang dinaikkan atau penyakit yang mulai membuat daftar dan hidup menjadi sulit.

Nyonya Martha adalah wanita yang paling bijaksana, selain cantik. Aku suka melihat kakinya yang kecil saat dia mengenakan dress tipis putih dan menikmati sarapannya bersama tuan Gani. 

"Aku belum sempat membeli hadiah untukmu, Sayang," kata suaminya yang dibalas dengan genggaman tangan.

"Aku sudah punya semuanya. Aku sudah sangat merasa bahagia menjadi istrimu. Terima kasih, Sayang," sahutnya.

Tetapi laki-laki memanglah aktor yang ulung. 

Ketika tiga tahun kemudian terungkap tuan Gani sudah lama menikah dengan wanita bernama Dolores, yang dia harapkan adalah rumah tangga mereka masih baik-baik saja!

Aku hampir menjadi gila mendengarnya, tetapi nyonya Martha bersikukuh membela suaminya yang saat itu sudah berusia tujuh puluh tahun. 

"Tenanglah. Itu artinya Elvara sudah mempunyai tiga saudara tiri dan kakak laki-laki," dia menjelaskan alasannya.

Itulah mengapa kukatakan orang kaya seperti tuan Gani terlalu berambisi dengan hawa nafsunya. Bertingkah seenaknya tanpa mempedulikan ini bukan kesalahan istrinya. Apalagi akhirnya wanita itu juga bisa melahirkan Elvara!

Entah masalah apa, tetapi akhir-akhir ini keduanya menjadi sering bertengkar. Elvara baru saja melangsungkan pesta sweet seventeen selama dua hari, ketika tuan dan nyonya ribut-ribut di kamar atas. Gadis itu akhirnya meninggalkan rumah sambil menangis.

"Kau baik-baik saja, Nyonya Sarah?" tiba-tiba saja nyonya Marie sudah bertanya.

Dengan sopan dia lalu mengajakku minum teh di kafetaria di ujung jalan, lima menit dari rumah yang ternyata juga dipenuhi para tetangga di halaman.

Aku berusaha duduk dengan santai, dengan berlagak menikmati pemandangan di luar jendela kafe. Ada burung salju bertengger berderet di sebatang besi melintang di sana. Sepertinya mereka sangat menikmati cuaca dingin. Entahlah.

Ah, tapi rasanya sulit berpura-pura saat ini. Kepala detektif itu menatapiku dengan wajah yang keibuan, membuat bulir keringat dingin merosot begitu saja ke atas mantelku.

"Aku ingin meminta bantuanmu untuk menceritakan beberapa hal tentang nyonya Martha," tukasnya diikuti anggukanku.

"Apakah almarhum pernah menolak untuk diceraikan?"

Alisku berkerut. "Aku tidak pernah mendengar tentang perceraian."

"Meski Anda tahu tuan Gani lebih menyayangi nyonya Dolores?"

Aku bimbang. Aku tak paham benar.

"Berapa lama nyonya Martha biasanya berendam dalam bathup, sebelumnya?"

"Setengah sampai satu jam," kataku setelah mengingat-ingat.

Ya, meskipun bathup tembaga itu termasuk benda kesayangan nyonya Martha, dan dia sendiri yang meminta desain luarnya berwarna toska pirus, tetapi dia belum pernah melampaui waktu satu jam, setahuku.

Tiga minggu setelah hari itu, 

Saat itu aku sudah berkemas dan berencana pamit. Tapi tuan Gani baru saja pulang didampingi beberapa orang dari kantor polisi. Ada keteduhan tersirat dari wajahnya.

"Kau tak perlu pergi kemana-mana," paparnya. "Aku tidak ditahan atas kematian istriku. Kita akan hidup seperti biasa.

Aku membeku, bingung.

"Hasil pemeriksaan dari tim dokter, menunjukkan nyonya Martha tewas karena kedinginan dan kakinya kejang dalam bathup. Nafasnya menjadi sesak karena panik sebab tak ada yang mendengar teriakannya waktu itu.

Sepertinya dia sengaja berlama-lama berendam dengan tujuan tertentu. Terlihat ujung jarinya keriput dan bibirnya membiru." kata nyonya Marie yakin.

"Elvara kecanduan zat aditif belakangan ini. Karena itulah kami bertengkar dan saling menyalahkan," tambah tuan Gani mengagetkan.

Setengah hatiku merasa senang, karena masih bisa berkumpul dengan keluarga ini. Tapi entah kenapa, sebagian lagi hatiku meragukannya.

Kota Kayu, 16 Mei 2022

Cerpen Ayra Amirah untuk Kompasiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun