Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gadis Syal Merah di Negeri Liliput

8 April 2022   09:36 Diperbarui: 8 April 2022   21:20 456
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Yahh! Aku baru sadar bermain game bisa melemparkanmu ke dalam dunia berbeda. Berjam-jam kamu berusaha menaklukkan tantangan di dalamnya. Kamu bukan sekedar tak mempedulikan panggilan emak di dapur. Tapi kamu juga rela mengabaikan tugas-tugas sekolah. Kamu akan sangat menyesal sepertiku nantinya!

Ini adalah hari kedua aku merasa kelaparan tanpa sedikit pun makanan yang bisa dijumpai. Tidak sekerat roti gandum tanpa daging asap sekalipun, ataupun buah-buahan untuk membasahi kerongkongan.

Lihat saja pohon-pohon di sini seperti botak karena sedang menggugurkan daunnya. Sama sekali tak tampak buah apel yang segar bergantungan atau sekedar pulm.

Itu yang pertama. Dan hal berikut ini lebih buruk! 

Bisakah kamu menahan perasaan ingin pipis selama kamu belum menemukan semacam toilet umum?

Ya, aku sudah berjalan ke semua arah tapi yang terlihat hanyalah tumbuhan perdu dan gundukan bukit kecil. 

Ketika akhirnya aku berpikir tak ada semak yang benar-benar rimbun sekaligus tak ada orang-orang yang muncul, akupun melepaskannya di sembarang tempat di antara gundukan itu. Aku janji hanya kali ini saja karena ini terlalu darurat.

Aku merasa malu. Nyatanya aku mengulanginya lagi di hari kedua. 

Kamu tahu kan ketika seseorang melakukan kesalahan dia bisa saja diampuni karena terpaksa melakukannya. Tidak mungkin aku dapat menahan keinginan buang air kecil dalam cuaca yang begitu dingin sekalipun hanya minum air di permukaan daun.

Dan jika kamu bertanya dimana aku tinggal atau tidur semalam, tentu saja jawaban ini tidak kalah buruk.

Aku meringkuk di dekat batu besar yang menurutku bisa melindungi hembusan angin dari arah sana. Tapi itu konyol karena bagian lainnya terbuka dan aku terhubung dengan udara yang menggila. 

Aku berusaha membenamkan tangan dan kakiku ke dalam pasir. Setidaknya aku pernah mendengar beberapa jenis burung dan juga penyu mengubur telur-telur mereka di dalam pasir untuk mendapatkan suhu yang lebih hangat. Tapi jangan mengira percobaan ini berhasil sempurna. Musim gugur yang memasuki musim dingin, terlalu dingin bahkan untuk tenda tanpa mesin penghangat di kasurnya!

Tentu saja aku menangis meraung-raung sampai air mataku kering sebab merasa terjebak dan kebingungan di sini.

Aku telah kehilangan kamarku dengan camilan biskuit bertabur chips manis dan minuman soda buah. Bukan. Aku lebih kehilangan ponselku dengan kabel charge-nya selalu tercolok ke steker agar aku bisa bermain tanpa henti.

Aku juga menangis karena emak tak mempedulikan panggilanku seperti yang biasa kulakukan di rumah. Tapi tentu saja bukan karena emak lebih mementingkan pisau dapur, lobak, wortel dan apa saja yang harus dia potong. Tapi karena aku telah berpindah ke tempat yang entah apa namanya.

Ketika pertama kali lutut dan tanganku menyentuh permukaan tanah, aku seperti orang yang diserang dari arah belakang sampai aku terjerembab. Aku melihat berkeliling dan hanya ada pemandangan seperti yang tadi kusebutkan. 

Tak ada satupun manusia. Bahkan kuamati diriku sudah berubah seperti boneka liliput yang sangat kecil.

Tidak salah lagi, ini pasti negeri liliput!

Percuma jika aku bertanya mengapa semuanya menjadi aneh dan berubah. 

Tidak ada seorang pun di sini yang bisa menjawab pertanyaanku, apalagi mengembalikan ke tempat asalku. Aku hanya sendirian, benar-benar sendirian bersama kesunyian!

Ups, ergh, maksudku ada sih seekor burung di hadapanku. Kami sama-sama berada di atas pohon. Tapi tetap saja dia tidak bisa menjawab pertanyaanku 

Ketika aku memutuskan untuk mencari rumah yang mungkin penghuninya bisa memberikan teh hangat atau apapun untuk melawan rasa dingin, rumah-rumah itu sama sekali kosong dan tak terdengar sedikitpun suara di dalamnya.

Ini benar-benar terkutuk, bukan?

Perlahan aku mengingat-ingat saat terakhir kali sebelum akhirnya aku sampai di sini. Apakah waktu itu aku sedang ketiduran dan ini hanyalah sebuah mimpi?

Aku mencubit tanganku, menggigit bibirku, bahkan menampar pipiku sendiri. Sakit! Semua terasa sakit. Artinya ini bukan sebuah mimpi.

Apakah aku sedang menonton cerita fantasi yang biasa ditayangkan saat libur sekolah? 

Tapi rasanya tidak sama sekali. Ini masih bulan April, belum waktunya libur sekolah dan kebetulan televisi di kamarku sudah sebulan ini rusak. Lalu apa kira-kira?

Oh, mungkin saja ini disebabkan aku terlalu sering membaca buku-buku tentang penyihir jahat serta serial klasik lainnya. Imajinasiku pasti bekerja sedemikian rupa sampai akhirnya aku berada di dunia khayal seperti sekarang. 

Kalau begitu apa yang harus kulakukan untuk keluar dari sini?

Tapi tunggu, sepertinya bukan itu!

Bukankah pada hari rabu ibu guru memberi banyak tugas matematika yang rumit? Karena kesal aku justru melempar buku-buku ke pojok kamar dan melanjutkan game favoritku.

Lihatlah syal merah ini, aku sengaja mengambilnya dari lemari pakaian karena saat itu udara begitu dingin.

Andaikata emak ada di rumah, saat itu aku bisa meminta secangkir cokelat panas serta beberapa kue donat. Tapi aku memilih memakai kaos kaki dan sweater hangat serta syal merah ini.

Jadi, apakah itu karena aku sudah melemparkan buku-buku sekolahku?

"Wahai ibu guru, wahai buku-buku sekolah, tolong maafkan aku. Aku janji tidak akan mengulangi perbuatanku. Aku akan mengerjakan tugas sekolah sampai selesai, baru melanjutkan bermain game. Percayalah... Percayalah..."

"Lola... Lolaa?"

"Ibu beri hukuman menyapu daun-daun di halaman samping kelas, malah tidur di bawah pohon..."

Aku membuka mataku dan mendapati ibu guru menatap keheranan ke arahku. Cepat kupeluk ibu guru karena senang akhirnya aku bisa kembali ke dunia nyata.

"Lola janji Bu Guru, akan mengerjakan tugas yang Ibu berikan asal Lola jangan dikirim ke negeri Liliput lagi..."

"Hahahahaaah..." sontak terdengar suara tawa membahana. Ternyata sebagian teman-temanku berkumpul untuk menyaksikan kekonyolanku.

Kota Kayu, 8 April 2022

Cerpen Ayra Amirah untuk Kompasiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun