Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Masuk ke Alam Mimpi Bayi

19 Maret 2022   09:27 Diperbarui: 19 Maret 2022   09:48 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mungkin aku tidak tergolong wanita sadis. Sudah kukatakan pada lelaki itu. Tetap saja aku gagal menolak tugas ini. Dia tetap memaksa membantunya menculik bayi itu kemarin.

Enam tahun sudah kujalani pekerjaan sebagai pengasuh bayi. Entah sudah berapa banyak bayi yang kurawat dan sekarang mereka tumbuh kanak-kanak.

Mendiang nenekku pasti kecewa bila melihat pekerjaanku. Tapi mana mungkin aku bisa jadi pekerja kantoran. Orang tuaku tak mampu memberi penghidupan layak, apalagi pendidikan yang baik. Satu-satunya peluang dari keterampilan standar yang dimiliki semua orang, tentu sabar mengurus bayi. 

Jika kau bertanya, apa aku tidak takut dipenjara, tentu aku sangat takut. Aku belum menikah sama sekali, dan tunanganku pasti akan meninggalkanku begitu tahu aku terlibat kasus seperti ini. Tapi lelaki itu terus mengancamku.

Namanya Lukas. Dia licik dan penampilannya sangar. Mulanya menolongku saat copet menarik tasku. Ah, mengapa aku tidak segera sadar itu adalah rencananya. Aku mengucapkan terima kasih tetapi dia malah meminta nomor telepon. Sekarang dia memerintahkan apapun untuk rencananya pada bayi malang ini.

Lihatlah wajahnya. Tampan dan lucu. Meski hanya minum setengah botol susu, tidurnya tampak begitu nikmat. Aku pun merebahkan diri di kasur, sambil menunggu lelaki sialan itu mengambil baby A.

*

Aku menikah dengan Rein, tunanganku. Aku sangat bahagia. Akan ada seseorang yang memberiku kehidupan lebih layak, tanpa harus menjadi baby sitter lagi. Aku hanya perlu mengurusi rumah mungil kami.

Ayah dan ibu datang bersama enam saudaraku. Wajah mereka sangat gembira. Kata mereka aku sangat cantik. Tentu saja. Aku pun mengira demikian.

Waktu cepat berlalu. Rein bersikap sangat baik padaku, kecuali ibunya. Setiap hari wanita itu bertanya kapan kami punya anak. Tanpa adanya keturunan, Rein tidak akan mewarisi perkebunan orang tuanya. Ancaman macam apa ini!

Aku mulai dilanda stres, karena setelah dua tahun tetap saja bayi yang kami harapkan belum juga hadir. Apakah tidak ada seorang bayi pun yang bersedia tinggal di rahimku? 

Dengan linangan air mata, aku memohon dengan tulus Sang Kuasa mau menitipkan bayi yang sehat dalam rumah tangga kami. Bukankah selama ini aku menjaga setiap bayi dengan sangat baik? Aku selalu menjadi rekomendasi untuk keluarga-keluarga berada. Tak satu pasangan pun merasa kecewa atas hasil kerjaku.

Ajaib! Beberapa bulan kemudian aku dinyatakan positip hamil. Artinya Rein akan mempunyai keturunan, dan aku bisa terus menyalurkan biaya untuk adik-adikku. Tugasku sekarang untuk menjaga kandunganku.

Di pagi yang cerah, akhirnya aku melahirkan bayi kami dengan selamat. Aku sangat beruntung. Dia adalah bayi laki-laki yang tampan dan lucu. Wajahnya sangat familiar, mirip seperti salah satu bayi yang kuasuh. Ibunya Rein langsung menggendong bayi kami, dan memperlakukanku jauh lebih baik.

Rein bertanya apakah aku akan memberinya nama. Sebenarnya aku hanya menyimpan nama untuk bayi perempuan. Akhirnya urusan nama diberikan oleh ibunya Rein. Oke, tak masalah.

Ternyata menjadi ibu sungguhan sangat berbeda rasanya dari yang kulakukan selama ini. Hubungan kami sangat erat dan tak terpisahkan. Aku menjadi tak terlalu suka bila ibunya Rein membawanya ke taman dengan kereta bayi.

Untuk pertama kalinya, aku harus melanggar kata-kata ibunya Rein. Aku harus menyusul bayiku di taman. Atau setidaknya mengintip dari balik daun-daun.

Sesampainya di taman, jantungku melompat karena keributan di sana. Terjadi penculikan bayi dan ibunya Rein meraung-raung di tengah orang banyak.

*

Aku terbangun dengan keringat dingin memenuhi wajah. Ternyata hanya mimpi.

Aku segera mengambil botol air minum. Detik berikutnya saat menatap wajah baby A, aku sadar sesuatu. Bayi dalam mimpiku tadi adalah baby A. Aku tak dapat melupakan ketampanannya. Dia adalah bayiku. Aku melahirkannya dan dia tersenyum saat aku menggendongnya. Kami bersama-sama di alam mimpi.

Kulirik jam di dinding. Pukul empat sore. Satu jam lagi Lukas sampai di sini. Menurut rencananya aku harus berpura-pura keluar bersama baby A. Aku harus pura-pura kehilangan bayi dan panik. Dengan demikian aku menyelamatkan nyawa adikku yang disandera. Ini omong kosong!

Segera kuhubungi nyonya rumah. Dia memberiku beberapa petunjuk. Sebaiknya aku memenuhi rencana penculikan ini. Pada saat yang sudah diperhitungkan, kawanan polisi langsung menyergap Lukas dan komplotannya. Aku terbebas dari ancaman undang-undang, dan adikku dapat diselamatkan.

*

Aku melihat baby A telah tumbuh menjadi balita tiga tahun yang lucu. Dia berjalan ke arahku dengan senyumnya yang imut. Setangkai bunga dahlia dia berikan sebelum memelukku. 

Aku terbangun pada jam dua pagi. Kunyalakan lampu kamar dan mendatangi box tidur baby A. Ia masih pulas dengan mimpinya. Sebentuk senyum yang sama dia tunjukkan. Dia pasti bermimpi indah karena terhindar dari rencana Lukas. Syukurlah.

Kota Kayu, 19 Maret 2022

Cerpen Ayra Amirah untuk Kompasiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun