"Okey, bagus!"
"Panjangkan tubuhmu. Lentur. Jari tangan lebih lentik!"
"Oke, cukup!"
Akhirnya selesai juga.Â
Aku menghabiskan setengah isi gelas yang disodorkan. Dingin dan menyejukkan tenggorokan. Tidak terlalu manis. Alpukad, susu cokelat dan es batu tepat seperti detil yang kuarahkan. Mereka bekerja bagus.
"Mas Panca, saya butuh bicara. Empat mata!"Â
Dengan seperempat malas, seperempat bete, dan setengahnya adalah penasaran. Tidak ada pilihan lain. Aku seperti takluk pada model nomor satu ini.
"Mas Panca, tolong manusiawi sedikit. Kasihan gadis itu. Usianya baru enam belas loh!"
Di ruanganku yang cukup luas, suara Luna menyamai gelegar petir. Tanpa harus menempelkan bokongnya di sofa, ia menghujam dengan mata amarah.
Aku mencoba menerka, kemana arah Luna bicara. Mungkin maksudnya Mari Mar, model yang baru saja menyelesaikan photo shoot. Sebab dia balerina termuda.
"Kalau yang kamu maksud aku terlalu keras pada gadisku, ini sebatas pose terbaik yang kita butuhkan. Okey?"
Luna membalikkan badan. Pucuk hidungnya hanya berjarak sepuluh senti dari kaca, sekarang. Matanya yang berkilat pasti sedang menjelajah kota dengan beringas.Â
"Praaaang!!"Â suara properti berbahan kaca berhamburan di lantai. Terlihat matanya menyala.
"Gadis itu bisa memberi kita banyak keuntungan, Mas Panca. Agency kita semakin trending. Dan itu karena bakat dari Mari Mar!"
"Justru itu, dia milikku. Apa kamu ada masalah?" aku melotot sambil menyorongkan muka ke depan wajahnya.Â
Baguslah karena Luna memilih pergi.
*
Beberapa malam aku sulit memejamkan mata. Wanita memang racun dunia!Â
Sepasang mata setajam pedang, tetapi suaranya bergetar. Luna menangis di restoran semahal ini dengan untaian kisah masa lalu.
Sebelum aku menemukan Mari Mar, bahkan aroma tubuhnya memabukkan kelelakianku. Apakah saat ini Luna cemburu?
Bisnis yang sudah puluhan tahun kugeluti dan menghidupi banyak orang, mustahil membuatku percaya dengan cerita omong kosong ini. Aku tak sebodoh itu!
Sebaiknya kutelepon saja.Â
"Halo..." kudengar suaranya masih mengantuk.Â
"Ya, semuanya baik-baik saja?"
"I.. iya Mas. Memang kenapa?"
"Besok pagi jam delapan aku jemput ya. Kita sarapan bareng."
"Terima kasih, Mas Panca."
"Sama-sama."
Keesokan paginya...
"Ada yang tahu, apa Mari Mar punya musuh?"
"Atau ribut dengan seseorang, pernah cerita??"
Anak-anak menggeleng. Meeting bubar.
Sebulan, dua bulan, misteri kematian Mari Mar masih belum terungkap. Aku yakin ini semacam sabotase. Siapa sebenarnya orang di balik semua ini?
*
Senyum manja dari bibir tipis Luna, gagal membelah jantung. Meski ya, harus kuakui kecantikannya selevel dewi kayangan.Â
"Saya harap Mas Panca bisa profesional," desisnya di telinga, hampir redam oleh gemuruh penonton.
Event yang disiarkan salah satu tv ini terasa hambar tanpa gadisku. Benar-benar tak habis pikir.
Dari sini, aku masih harus menandatangani kerjasama dengan produk komersil. Tapi lebih dulu aku sempatkan membeli bunga dan berdoa di makam gadisku. Kuharap Luna menaiki mobilnya sendiri.
Setahun kemudian...
"Perhatikan ekspresi kamu."
"Agak menyamping. Okey."
"Tolong tim, kainnya lebih dramatis."
"Tahan."Â
"Okey, thank you!" Kali ini aku memberikan applouse pada model balerina. Puas.
Setengah isi gelas masuk ke lambung.Â
Kopi affogato vanila dengan gelas keramik putih, tak boleh yang lain. Satu scoop es krim dengan taburan gula palm, disajikan pada jarum jam membentuk sudut enam puluh lima derajat. Sempurna.Â
Kota Kayu, 17 Maret 2022
Cerpen Ayra Amirah untuk Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H