"Kalau yang kamu maksud aku terlalu keras pada gadisku, ini sebatas pose terbaik yang kita butuhkan. Okey?"
Luna membalikkan badan. Pucuk hidungnya hanya berjarak sepuluh senti dari kaca, sekarang. Matanya yang berkilat pasti sedang menjelajah kota dengan beringas.Â
"Praaaang!!"Â suara properti berbahan kaca berhamburan di lantai. Terlihat matanya menyala.
"Gadis itu bisa memberi kita banyak keuntungan, Mas Panca. Agency kita semakin trending. Dan itu karena bakat dari Mari Mar!"
"Justru itu, dia milikku. Apa kamu ada masalah?" aku melotot sambil menyorongkan muka ke depan wajahnya.Â
Baguslah karena Luna memilih pergi.
*
Beberapa malam aku sulit memejamkan mata. Wanita memang racun dunia!Â
Sepasang mata setajam pedang, tetapi suaranya bergetar. Luna menangis di restoran semahal ini dengan untaian kisah masa lalu.
Sebelum aku menemukan Mari Mar, bahkan aroma tubuhnya memabukkan kelelakianku. Apakah saat ini Luna cemburu?
Bisnis yang sudah puluhan tahun kugeluti dan menghidupi banyak orang, mustahil membuatku percaya dengan cerita omong kosong ini. Aku tak sebodoh itu!