Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Camar Pulang Senja

10 Maret 2022   08:06 Diperbarui: 10 Maret 2022   08:20 675
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Camar Pulang Senja|foto: Fernanda Ferreira/Pinterest 

Kisah sebelumnya Wanita dalam Berkas Sinar

______________

"Apa kabarmu, Sayang?" lelaki itu bertanya, seraya menatap hangat wanita di hadapannya.

Entah sudah berapa lama, sejak ia terpikat wanita di luar sana. Bening mata Meylin menjadi terlupakan, juga putri mereka semata wayang, Ara.

"Aku minta maaf karena meninggalkanmu, dan membuatmu menderita..." katanya lagi.

Wanita itu menelusuri seraut wajah yang tak asing. Suaminya terasa begitu jauh selama ini. Apakah ia bermimpi? 

Lelaki itu menjadi jengah ditatap begitu. Jantungnya seolah lenyap karena malu. Keperkasaannya terasa kalah karena ia tahu dirinya salah. Ia ingat kata-kata Meimei yang menyebutnya egois di kantornya. 

"Apakah aku masih bisa pulang ke hatimu?" rayunya lagi. Suaranya memberat menahan tangis yang coba tidak ia tumpahkan. Baru sekarang ia takut kehilangan belahan jiwanya.

Lelaki itu tahu istrinya begitu setia selama ini. Lima belas tahun mereka merajut cinta, bukan dalam kehidupan serba ada. Tak sekalipun wanita itu menyesal memilih dirinya, atau berpikir untuk mencari pengganti yang lebih menjanjikan.

Tapi ia malah jadi pengecut dengan lari dari pernikahan. Justru saat ia merasa di atas angin, punya segalanya untuk dihamburkan. 

Setahun lamanya ia nikmati pelukan wanita lain, dan sesekali saja tidur di rumahnya. Itu pun ia lakukan tak sepenuh hati. Ia bersikap dingin kepada istrinya, dan tak mempedulikan sama sekali perasaan wanita itu.

Ternyata ia mendapatkan pengkhianatan dari wanita lain yang dianggapnya sempurna. Lelaki itu dicampakkan dengan alasan sudah bosan. Setelah pengorbanan dan pemberian yang tak terhitung, barulah ia dikata-katai dengan keji.

Sekarang lelaki itu dapat merasakan sakit yang selama ini ditanggung istrinya. Ia tidak pernah menceraikan, tapi tidak pula memberi perhatian.

Ia bukannya tidak tahu, wanita di hadapannya sempat merasa depresi. Kehilangan gairah hidup dan memilih mengurung dirinya di kamar. Menggelepar meratapi takdir saat ia harus kehilangan orang yang dicinta. 

Untunglah Ara dapat mendampingi dan merawat ibunya dengan tulus. Wanita itu tak kehilangan kasih sayang sepenuhnya, ia masih mendapatkannya dari Ara.

Hal inilah yang membuat lelaki itu meragu untuk kembali. Apakah istri dan anaknya mau menerimanya kembali? Jawaban apa yang akan ia berikan pada gadisnya? Sebagai ayah ia telah memberi contoh yang buruk. Ia telah berlaku curang dan kejam. Bagaimana seandainya dulu Ara frustasi karena kesalahan yang ia perbuat? 

Wanita itu berhenti memekur wajah suaminya. Ia beranjak ke tepi jendela yang tertutup rapat. 

Ada senja di sana. Warna emasnya begitu rupawan menimpa lembah di bawah rumah mereka. Sayang sudah lama ia tak menikmatinya. Berjalan di lembah dan melihat bunga-bunga memenuhi tempat itu bersama belahan jiwanya.

Apa yang harus dilakukannya sekarang. Kalimat apa yang bisa ia berikan untuk suaminya?

Lelaki itu menarik sebuah buku di atas meja. Ternyata buku jurnal toko roti istrinya yang sekarang mati suri. Ia mencoba memeriksa, karena semestinya buku ini masih digunakan sampai berada di meja kamar.

Wajah lelaki itu berubah pucat, tak kuasa menahan rasa bersalah yang terus menekan batinnya. Ada banyak catatan di halaman belakang buku tersebut. Ia membacanya satu per satu sebagaimana istrinya mampu menulisnya.

Seratus lima puluh, suamiku pulang ke rumah, tetapi hatinya terus berada di luar. Ia sama sekali tidak menghiraukanku. Dua ratus tujuh puluh empat, Ara menghaduri acara kelulusannya tanpa ibu atau ayahnya. Ia meraih nilai terbaik, tapi tak mendapat dukungan apapun dari kami. Delapan ratus satu, Tuhan tolong maafkanlah kami yang gagal menjaga keluarga ini. Sembilan ratus, jika Tuhan izinkan tolong berilah saya satu kesempatan. Seribu satu, Tuhan saya akan menerima apapun takdir yang Engkau berikan dalam hidup ini.

Lelaki itu selesai membaca semuanya. Seribu satu catatan permenungan istrinya selama ia tinggalkan. Ini gila!

Mulai dari menyalahkan diri sendiri, memikirkan kebaikan Ara, sampai komunikasinya kepada Tuhan!

Lelaki itu tersungkur di lantai. Kali ini ia tidak dapat pura-pura bertahan dari sebuah rasa bersalah. Tanpa ragu ia meraung menangisi harinya yang kemarin, dosa yang ia ciptakan, dan penderitaan yang ia berikan kepada keluarganya.

Jantungnya seolah ditikam. Lelaki itu merasa tak berdaya membela dirinya. Apa yang harus ia akui kepada Tuhan nantinya?

Ia terus menangis, tak peduli keperkasaannya akan kalah di hadapan istrinya. Wibawanya akan hancur, lalu ia akan mendapat balasan kalimat keji. Lelaki itu pasti menerimanya. Karena tidak ada hal paling bodoh dari seorang lelaki selain pulang ke pangkuan istrinya di saat ia sudah bangkrut!

Lelaki itu terlihat seperti orang sinting. Air matanya terus membasahi lantai dan jas biru yang dipakainya. Wajahnya begitu kusut, dengan rambut seperti habis diterpa badai.

"Bangunlah, Sayang. Apa yang kau lakukan?" untuk pertama kalinya wanita itu membuka suara.

Lelaki itu terperanjat, melongo. "Kau mau memaafkanku, Sayang?" tanyanya tak percaya. Ditelusurinya wajah istrinya yang berkilau karena bias dari jendela. Ada senyum hangat di sana. 

Di luar jendela, kawanan burung camar melintas pulang. 

Kota Kayu, 10 Maret 2022

Cerpen Ayra Amirah untuk Kompasiana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun