Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gelembung Nirmala

2 Maret 2022   08:42 Diperbarui: 2 Maret 2022   08:46 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Gelembung Nirmala|foto: We Heart It/Pinterest

Inka merasakan tekanan sangat hebat di kepalanya. Belum pernah ia mengalami gejala seperti ini sebelumnya. Cangkang otaknya terjepit. Terpaksa ia merebahkan diri saja di kamar.

Inka yakin ini hanya flu biasa yang disebabkan oleh virus. Biasanya minum jenis obat yang cocok bisa menyembuhkan kurang dari dua pekan. Ini baru hari ketiga, Inka seharusnya sabar.

Di sinilah masalahnya. Sejak hari pertama Inka selalu minum obat sesuai dosis. Namun tak sedikit pun reaksi dari obat yang diminumnya. Tidak ada perkembangan seperti sakitnya di waktu-waktu dulu.

Inka heran, kenapa dia tidak bersin-bersin? Hanya demam, muntah, dan sakit kepala. Inka menduga hawa panas terperangkap di tubuhnya. Tapi setelah mandi air hangat, ternyata tak berhasil apa-apa.

Kini Inka kehilangan gairah melakukan aktivitas. Tenaganya seperti hilang. Sekedar memusatkan perhatian pada buku favoritnya pun tak bisa.

Dengan perasaan kepala terimpit dan bibir meringis, dicobanya untuk tidur. Masuk ke dunia mimpi adalah jalan pintas melupakan penderitaan.

*

Dimana ini? Inka bergumam, sambil melihat sekeliling. Kepalanya masih terasa sakit disertai rasa pusing seperti orang berada di atas perahu.

Ternyata sebuah taman, entah dimana. Sepertinya ia belum pernah sampai di sini. 

Detik berikutnya, Inka baru menyadari kalau anak-anaknya tak di sini. 

Kemana mereka semua? gumamnya mulai panik, lalu berjalan kian kemari mencari ketiganya. 

Pada beberapa langkah pertama, tanpa disadari, tubuh Inka melepaskan bahan kimia dan menghasilkan energi dalam sel. Energi inilah yang kemudian digunakan sebagai bahan bakarnya mengitari taman.

Pikirannya agak tegang. Belum pernah Inka berjauhan dari anak-anaknya. Sekalipun mengurus anak-anak membuat lelah dan menguras emosi, Inka merasa tak bisa hidup tanpa buah hatinya.

Sekarang denyut jantungnya terhitung antara 70 sampai 100 denyut per menit (bpm). Aliran darah Inka cepat meningkat, dan otot-ototnya memanas.

Dalam proses ini, molekul kompleks dipecah menjadi molekul yang lebih sederhana. Misalnya, molekul gula sederhana dipecah menjadi karbon dioksida (CO2), uap air dan energi. Volume udara maksimal yang dihasilkan berkisar 500 mL. 

Setelah merasa lelah dan tak menemukan petunjuk sedikit pun, ia berhenti dan mendaratkan tubuhnya pada sebuah bangku panjang. Inka beristirahat dan mulai merasakan denyut jantungnya melambat. 

Inka berusaha melakukan respirasi, yaitu proses keluar masuk udara pada paru-paru. Mulanya ia menghirup udara taman dengan hidung, masuk ke faring, laring, trakea, bronkus, dan akhirnya paru-parunya terisi udara. Lalu ia mengembus perlahan sampai terasa nyaman.

Ia berusaha kembali bernafas dengan normal yaitu 12 -17 kali semenit. 

Sayang ia tak membawa botol minumnya. Tapi syukurlah lelahnya pelan-pelan hilang, kecuali sakit di kepalanya yang tetap tak mau pergi.

Suasana hening sepi. Tak ada siapa-siapa di taman. Tak satu kendaraan yang lalu-lalang, bahkan kupu-kupu juga tak terlihat. Hanya kemilau sinar yang seolah tumpah dari langit.

Pupil mata Inka memicing. Otot-otot siliaris mengubah panjang fokus mata, hingga gambar terbentuk jelas di retina. 

Mata Inka berusaha melakukan akomodasi untuk menangkap benda apakah yang berduyun-duyun melintas di hadapannya.

Gelembung! Ya, itu adalah gelembung yang sering dimainkan anak-anaknya semasa kecil. Dia sendiri yang membelikan cairan sabun agar mereka bisa bermain dengan gembira.

Menurut Wikipedia, gelembung merupakan percikan suatu zat dalam zat lain baik gas ataupun cairan. Dan mengapa gelembung bisa tetap utuh saat mencapai permukaan zat yang membenamnya, diakibatkan oleh efek Marangoni.

Tetapi bukan itu yang mengganggunya.

Dia ingat, dua pekan terakhir sering marah kepada kedua anaknya. Terutama si sulung. Inka kecewa pada si sulung yang sepulang sekolah sibuk bermain game online dan abai pada dirinya. Inka akhirnya mengomel untuk meluapkan kekesalan dan tidak mempedulikan berapapun usia anaknya sekarang.

Gelembung yang beterbangan benar-benar mengingatkan pada anaknya. Entah berasal dari mana, Inka juga tak habis pikir. 

Mungkin ada pedagang mainan di salah satu sudut taman yang sedang memberikan demo kepada anak-anak, pikirnya.

Hmm... Inka terkesima. Selaput tipis itu melayang ringan di udara tanpa beban sedikit pun. 

Betapapun, aku tak mau tinggal di dalamnya! pikir Inka dalam hati. Semasa kecil, dirinya pernah membaca dongeng tersebut.

Di negeri gelembung, semua orang hidup damai menikmati hijaunya hutan dan bunga-bunga yang bermekaran setiap pagi. Mereka saling menyapa dan berbagi senyuman. Begitupun kepik merah dan kupu-kupu bersahabat erat. Semua tampak menikmati kehidupan dengan penuh kebahagiaan.

Berabad-abad pun berlalu. 

Datanglah monster keserakahan menguasai jiwa-jiwa manusia. Mereka pun mulai melupakan persahabatan dan indahnya bunga-bunga. Mereka terus bersaing dan saling menghancurkan. 

Gedung-gedung pencakar langit mulai memenuhi kota-kota yang penuh kendaraan bermesin. Berbagai emisi mulai membentuk anak panah yang melesat ke langit. 

Sementara itu, di daratan banyak wilayah yang akhirnya tercemar. Ekosistem rusak dan lapisan tanah juga hangus terbakar. Para ahli terus menghitung berbagai kemungkinan di masa depan.

Negeri gelembung kini berada di ambang kepunahan. Dimulai dari kebocoran kecil pada dinding ozon. Tak terbayangkan kehidupan mereka selanjutnya!

"Jangan... Jangan bawa akuuuu... " Inka mengigau sambil tangannya bergerak-gerak.

"Mama, mama?"

Inka membuka mata. Itu adalah suara anaknya.

"Bangun Ma, minum obat dulu. Kakak sudah masak bubur untuk mama makan..."

Inka menatap si sulung, lalu meraihnya dalam dekapannya. 

Diperhatikannya dua anaknya yang lain, juga menungguinya dengan senyum penuh rindu. 

Dia harus bangun. Dia harus sembuh untuk menjaga ketiga anaknya.

Kota Tepian, 2 Maret 2022

Cerpen Ayra Amirah untuk Kompasiana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun