Ia ingat dorongan semangat yang dari keluarganya.Â
Janet harus mengalah. Harus bersabar. Kesempatan tidak datang dua kali. Saat ini ia sangat dibutuhkan penggemarnya. Juga pemilik produk yang memberinya endorsment. Entah lima tahun lagi.Â
Janet menghirup semerbak wangi air mandinya sekali lagi, sebelum membuka kelopak matanya pelan-pelan.Â
Ditatapnya bunga anggrek yang sedang mekar di sisi jendela. Cantik sekali, dan warnanya sesuai selera Janet.Â
Momen ini tak terjadi setiap hari. Paling banyak dua kali dalam setahun bunga kesayangannya ini mekar. Kira-kira seperti itu pula dirinya.
Janet galau. Ternyata faktanya tak seindah impiannya dulu.Â
Menjadi penyanyi dengan bayaran mahal ternyata membuatnya kehilangan diri sendiri. Janet bahkan sulit untuk menyimpan apapun dalam ranah privasinya.
Selain itu, ia harus bangun sepagi mungkin setiap hari. Dan setiap aktivitasnya, ditentukan oleh apa yang ditulis Roby, sang menejer. Lelaki itu agak cerewet dan galak, meski juga sangat profesional.
Pernah Janet ingin membeli sate di pinggir jalan. Ia tergoda aroma dari asap yang sampai ke hidungnya saat melewati jalan Gn. Sahari. Tapi apa boleh buat, ia tak boleh kemana-mana. Hanya Roby yang boleh turun dan memesan sate untuk disantap di mobil.
"Lu gimana sih?? Jaga dong attitude kebintangan loe..." omel Roby saat ia pernah bilang ingin makan es buah yang lagi hits di jalan Ratu Kemuning.
Bagi Janet, makan sate di mobil selama perjalanan ke lokasi pemotretan, sama sekali tidak asyik meski rasa sate tetap enak.Â