"Anak kecil, Mbak. Maksud saya dia diantar ayahnya."
"Tuh, kan!" sambar Sarah, lagi-lagi matanya melotot galak.
Akhirnya aku setuju untuk meninggalkan toko. Gontai meninggalkan rasa kecewa yang membatu.
Mengherankan memang. Bukan hanya Sarah, rekan kerjaku, yang tidak rela aku mempunyai boneka. Tapi juga Nino, cowok yang enam bulan ini jadi kekasihku.
Saat itu, ekspresi wajah Nino berubah. Antara kaget, dan juga merasa konyol. Apakah gadis seusiaku, masih perlu sebuah boneka untuk menemani tidur, atau untuk mengusir sepi? Bukankah itu konyol?
Mungkin aku akan menjadi satu dari seribu orang yang tidak menginginkan sebuah boneka. Tak peduli apapun alasannya. Keinginanku itu sungguh tidak masuk akal!
Mainan orang dewasa abad ini adalah media sosial, game online dan mungkin juga travelling. Itu sama sekali tidak kedengaran aneh.Â
"Apakah kau kesepian?" tanya Nino akhirnya.
"Kau bisa ngobrol apa aja untuk mengeluarkan uneg-uneg di hatimu, nggak harus cerita ke boneka, Sayang..."
Begitulah tanggapan Nino. Dia bahkan bersedia mengantarku ke psikiater bila aku siap. Dia akan membantuku melewati apapun yang mengganggu perasaanku.
Aku ingin punya boneka, hanya itu. Sederhana saja. Setiap orang pasti mempunyai keinginan dan sudut pandang. Apakah, boneka-boneka yang diciptakan dengan kreasi yang rumit dan menarik, hanya dibuat untuk anak kecil saja? Hanya untuk mereka bermain?