Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Seperti Apa, Cinta yang Murni Itu?

25 Desember 2021   08:48 Diperbarui: 25 Desember 2021   08:57 748
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Seperti Apa Cinta yang Murni itu?| Foto: Mom and daughter photoshoot.com

Ketika saya membaca tulisan (cerpen) Kompasianer Muhammad Andi Firmansyah beberapa waktu lalu, saya tertegun.

Di balik humanisme ceritanya, Andi Firman menyampaikan beberapa hal yang menarik perhatian saya tentang kasih sayang seorang ibu kepada anak-anaknya.

Cerpen tersebut berjudul Surat untuk Adikku: Ibu Kita Seorang Filsuf

Di dalam kolom komentar, saya mengajukan satu pertanyaan yang dijawab Andi Firman secara lengkap dan jelas.

Tanpa mengurangi rasa hormat saya pada Andi Firman dan apresiasi saya atas tulisan tersebut, izinkan saya menuliskan kisah love saya dalam peringatan hari ibu 2021.

Hal-hal menarik itu adalah:

  1. Seorang ibu yang baik, mendidik dengan manusiawi. Sebab hanya hewan sirkus yang dididik dengan paksaan dan lecutan tali yang menyakitkan
  2. Seorang ibu yang mendidik dengan harapan, akan menaruh ekspektasi tertentu pada anaknya. Ini semacam transaksi, sementara tak seorangpun suka dibebani
  3. Seorang ibu yang mencintai anaknya secara murni, hanya menginginkan anaknya mendapat kebahagiaan. Ia tidak memberikan embel-embel harapan. Ini disebutnya sebagai motif cinta
  4. Seorang ibu yang cintanya dinodai oleh ego dan menginginkan timbal balik/balasan, layaknya mempunyai motif "dagang". Bahwa dirinya sudah sangat sakit melahirkan anaknya, maka anaknya harus sukses sebagai timbal balik dari rasa sakit tersebut terhadap anak yang dilahirkannya
  5. Seorang ibu yang demikian akan membentuk anaknya mengejar nilai akademis dari gurunya saja, bukan mencintai ilmu pengetahuan itu sendiri

Mendidik adalah kerja dengan proses seumur hidup. Secara bertahap dan mengikuti alurnya. Jadi kuncinya adalah konsistensi dan kesabaran.

Mendidik anak dengan kekerasan (pukulan, tendangan, makian) akan memberi dampak lain yang mengejutkan.

Lazimnya orang tua mendidik anaknya dengan niat sang anak akan memiliki kehidupan yang lebih baik. Tidak mengalami kesuraman seperti yang ada dalam masa lalunya. Tapi bagaimana jika sang anak merasa ditekan?

Contoh: anak harus rajin belajar, mengisi PR dan jangan pernah bolos supaya tidak tinggal kelas. 

Apakah ini sebuah tekanan?

Saya pribadi termasuk ibu yang peduli dengan pencapaian. Saya berkata kepada anak saya, "Sekolah itu membutuhkan biaya, melelahkan... maka jangan sampai nilai pelajaranmu enam puluh lima. Ibu memberi batas terendah delapan puluh lima. Artinya engkau boleh tidak memahami pelajaran sebanyak nilai lima belas saja, tidak lebih."

Dan agar anak saya dapat memahami materi pelajarannya dengan baik, saya memberikan arahan, dorongan, fasilitas, metode, dukungan dan batasan jam bermain/bersantai kepadanya.

Sebagai gambaran, saya mengharuskan ia menjawab soal-soal IPS yang terdapat dalam aplikasi ponselnya. Sebab ia tampak lemah pada mata pelajaran ini. Tidak memberatkan, karena ia hanya perlu mengerjakan dua puluh soal atau satu level per hari. Dan lagi tingkat kesulitan berjenjang dari level satu sampai tiga puluh.

Ringkasan mapel IPA yang dibuat si sulung| Foto: dokpri
Ringkasan mapel IPA yang dibuat si sulung| Foto: dokpri

Saya sadar telah memberikan harapan dalam cinta saya, bahkan tekanan. Untuk itulah saya tertegun membaca tulisan (cerpen) Andi Firman.

Kemudian saya bertanya pada anak saya, "Apakah ada cara belajar yang selama ini ibu arahkan, ajarkan, yang tidak engkau sukai?" 

Anak saya menjawab, "Tidak ada."

"Bagaimana dengan kewajiban menyimak pelajaran bahasa Arab dari ustadzah Fifi dalam channelnya?"

"Tidak keberatan."

"Sewaktu ibu minta membuat ringkasan IPA?"

"Aku sudah buat."

"Mata pelajaran apa yang paling engkau sukai?"

"Fiqih dan Bahasa Inggris."

"Yang paling dibenci?"

"Tidak ada."

Hmm, saya merasa lega.

Tanpa bermaksud ria, dua anak saya, terbiasa dengan peringkat satu di kelasnya. Dan kesempatan ini, sering saya gunakan untuk meyakinkan mereka bahwa arahan yang saya berikan, inilah hasilnya. Mereka bisa meraih juara pertama. 

Mereka, tidak pernah menunjukkan keterpaksaan saat saya menjadwalkan ini dan itu. 

Tentang kemandirian, kecakapan, saya juga mempunyai cara-cara khusus untuk ditaati. Saya melatih mereka sesuai perkembangan usia, kemampuan dan pola berpikir. Hasilnya, teman-teman yang pernah berkunjung ke rumah, terheran-heran, terkagum-kagum, melihat perbedaan anak kami.

Tentu, pengalaman ini sangat subjektif. Saya tidak menggeneralisasi semua anak bisa diperlakukan dengan teknik parenting saya di rumah.

Sampai di sini, saya menjadi gamang. Apakah saya punya cinta yang murni pada ketiga anak perempuan saya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun