Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kota ini Milik Siapa, Pussie?

22 Desember 2021   20:05 Diperbarui: 22 Desember 2021   20:29 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kota ini Milik Siapa, Pussie?|foto: boredart.com

Suriah, 2014

Seorang anak lelaki berusia sekitar enam tahun, tergopoh-gopoh memasuki kedai. Sambil menikmati makan siang, aku memperhatikan anak yang dipanggil Najem itu. Dua dus dipunggungnya, seharusnya bisa diletakkan di kereta dorong. Sungguh tidak masuk akal.

"Ia yatim piatu, Tuan," kata anak pemilik kedai.

"Ibu bapaknya anggota kelompok radikal?" 

Gadis itu mengangguk. "Sebagian mereka diserahkan kepada lembaga bantuan. Tetapi Najem ingin hidup bebas."

Bebas. Ya, satu kata itu amat penting bagi setiap makhluk di dunia. Burung pun tak akan suka tinggal di sangkar emas.

"Berhenti, Pussie! Jangan mengambil susu milik Neyow!" anak lelaki itu menghalau seekor kucing hitam putih. Seekor kucing lainnya tampak meringkuk di bawah penampungan air. Sepertinya sedang terkena jamur di kedua telinganya.

Sebagai fotografer berita untuk daerah konflik, pemandangan mengenaskan dan tidak manusiawi sudah menjadi "makananku" beberapa tahun terakhir. Tetapi kali ini,  hati kecilku seakan berbisik lain tentang anak laki-laki itu. Dinding sanubariku bergetar, dan terasa berbeda dari biasanya.

*

Aku baru saja selesai menyirami diriku di kamar mandi. Rasanya segar sekali. Wangi bunga yang ditinggalkan sabun yang sebenarnya hanya tersisa sedikit, masih semerbak di permukaan kulitku.

Aku menjerang air pada teko listrik. Secangkir teh akan menyempurnakan istirahatku sore ini. Beginilah cara sederhana menikmati pekerjaan yang menjauhkanku dari Alma.

Apa kabar belahan jiwaku? Mungkin ia sangat menderita harus berjauhan dariku. Delapan tahun pernikahan kami, belum juga dikaruniai momongan. Dan sampai sekarang, aku belum bisa mengabulkan permintaannya untuk resign. Pengabdianku tak akan membuahkan apa-apa jika aku berpindah-pindah pekerjaan. Kami memang harus bersabar.

Baghouz ibarat kota mati yang suram. Bahkan lebih dari seperempat anak-anak di seluruh dunia kehilangan kebahagiaannya. Tak ada lagi keluarga yang penuh kasih sayang. Tak ada teman-teman yang mengajak tertawa, juga sekolah yang membawa masa depan cerah. 

"Apa anak itu mau kita adopsi, Mas?"

"Bagaimana dengan kejiwaan dan luka batinnya. Apa kita bisa membantunya hidup lebih baik?

"Bagaimana dengan surat-surat legitimasi? Mungkin kau akan dipersulit, Mas..."

Pertanyaan ini seketika meluncur dari ujung telepon. Sepertinya Alma merasa berat menerima niat baikku. Biar bagaimana pun, ia pasti merasa terkejut.

*

Aku melihat anak lelaki itu, menepi bersama kucing kesayangannya. Duduk di sebuah anak tangga, tanpa alas kaki. Di tangannya sebuah suling yang berusaha ditiupkan.

Sepertinya ia menyanyikan lagunya sendiri. Berganti-ganti dengan suara suling sebagai pengiring. 

Lagu itu terdengar pilu. Menceritakan kerinduan pada ibu dan keempat saudaranya yang tewas terbunuh. Dan kegelapan yang membayanginya setiap hari.

"Pussie, dengar, aku akan bertanya padamu..." kata anak lelaki itu.

"Kota ini milik siapa, Pussie? Apa kau tahu?"

"Kota ini milik mereka. Orang-orang itu yang berhak menentukan siapa saja yang akan mati, dan siapa yang akan hidup!"

Kucing di hadapannya urung menjawab. Hanya menggosokkan kepalanya di kaki Najem. Lalu tidur di sisinya.

"Kau benar. Untuk apa kita memikirkannya? Lebih baik tidur dan bermimpi yang indah..."

Jakarta, 2019...

Gerimis masih turun perlahan. Aku tak bisa menunggu lebih lama, khawatir terjebak macet dan terlambat sampai di kantor.

Belahan jiwaku yang menemani sejak tadi, tiba-tiba menjatuhkan kepalanya di bahuku.

"Mas, terima kasih sudah membawa Najem ke rumah kita. Aku sadar ia membutuhkan kasih sayang di dalam hidupnya. 

"Dengan menjadi orang tua angkatnya, aku merasa hidupku lebih berarti. Naluriku sebagai ibu terus tumbuh untuk melindunginya."

Aku tertegun.

Aku ingat, cukup lama Alma merasa tidak nyaman dengan kehadiran anak lelaki itu di kediaman kami. Bukan sekedar merasa asing, tetapi juga antipati.

Tentu aku harus menambah kesabaranku. Memberi arahan dan bimbingan kepada Alma tanpa rasa lelah. 

Kalau mau direnungkan, mereka mungkin tak mau mengalami nasib sebagai korban pertikaian dan permusuhan.

Beban psikologis, kelaparan, kesepian, kekerasan telah melahirkan pribadi pemberontak dan brutal pula. Inilah yang nyaris membuat belahan hatiku berputus asa.

"Sama-sama, Sayang. Mas senang akhirnya kamu bisa menerima dan menyayangi Najem. Ia sangat menghormati kita dan banyak membantu, bukan?"

Alma senyum dan.mengangguk.

22 Desember 2021

Matahari baru saja memamerkan senyumnya. Semilir pagi menyambut dengan sejuta bahagia.

Aku memandangi Alma dan sesosok bayi perempuan kami. Cantik sekali seperti ibunya. Akhirnya ia hadir di tengah-tengah kami. Alhamdulillah...

"Selamat ya, Sayang. Sekarang kau menjadi ibu dari sepasang anak kita. Najem dan Najwa," kataku seraya menyerahkan sebuket bunga mawar.

"Selamat ya, Bunda. Barakallah..." lelaki tanggung di sebelahku tampak bahagia. Senyumnya indah sekali.

"Kota ini milik siapa, Najem?" tanyaku disambut rangkulan penuh haru.

SELESAI

Cerpen ini imajinasi belaka. Ditulis oleh Ayra Amirah untuk Kompasiana.

Selamat Hari Ibu 2021

Kota Tepian, 22 Desember 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun