Apa kabar belahan jiwaku? Mungkin ia sangat menderita harus berjauhan dariku. Delapan tahun pernikahan kami, belum juga dikaruniai momongan. Dan sampai sekarang, aku belum bisa mengabulkan permintaannya untuk resign. Pengabdianku tak akan membuahkan apa-apa jika aku berpindah-pindah pekerjaan. Kami memang harus bersabar.
Baghouz ibarat kota mati yang suram. Bahkan lebih dari seperempat anak-anak di seluruh dunia kehilangan kebahagiaannya. Tak ada lagi keluarga yang penuh kasih sayang. Tak ada teman-teman yang mengajak tertawa, juga sekolah yang membawa masa depan cerah.Â
"Apa anak itu mau kita adopsi, Mas?"
"Bagaimana dengan kejiwaan dan luka batinnya. Apa kita bisa membantunya hidup lebih baik?
"Bagaimana dengan surat-surat legitimasi? Mungkin kau akan dipersulit, Mas..."
Pertanyaan ini seketika meluncur dari ujung telepon. Sepertinya Alma merasa berat menerima niat baikku. Biar bagaimana pun, ia pasti merasa terkejut.
*
Aku melihat anak lelaki itu, menepi bersama kucing kesayangannya. Duduk di sebuah anak tangga, tanpa alas kaki. Di tangannya sebuah suling yang berusaha ditiupkan.
Sepertinya ia menyanyikan lagunya sendiri. Berganti-ganti dengan suara suling sebagai pengiring.Â
Lagu itu terdengar pilu. Menceritakan kerinduan pada ibu dan keempat saudaranya yang tewas terbunuh. Dan kegelapan yang membayanginya setiap hari.
"Pussie, dengar, aku akan bertanya padamu..." kata anak lelaki itu.