Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cangkir Antik Nenek

30 November 2021   19:52 Diperbarui: 30 November 2021   20:27 361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Cangkir Antik Nenek|foto: katia-lexx.livejournal.com

Saat Zidane menikahiku, sebenarnya orang tuaku tak meminta terlalu banyak. Kalaupun ada hantaran untuk mempelai wanita, sepertinya masih dalam ukuran pada umumnya. Tapi, dengan adanya satu tambahan lagi, itu adalah bonus yang menyenangkan pada awalnya.

Memang, saat kami masih berstatus pasangan kekasih, aku sempat bertemu nenek Ami, nenek buyut suamiku. Dan tampaknya beliau sayang padaku.

Duh, bukannya ge-er. Nenek Ami yang berusia sembilan puluh tujuh tahun itu, selalu senyum ramah padaku. Sebaliknya, tidak banyak kalimat yang bisa kutangkap dari bibir tuanya. Paling aku hanya balas tersenyum dan mengangguk.

Dan yang sulit dipercaya, menjelang ajalnya, nenek Ami menyuruh Zidane menjemputku datang. Setelah aku bicara sepatah dua patah kata, beliau akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya.

Delapan bulan kemudian, saat kami akhirnya bersanding di pelaminan, percaya atau tidak, aku seakan melihat kehadiran nenek Ami. Agak di pojokan, nenek terlihat mengunyah kue bolu dengan santainya. Tapi anehnya, suamiku sama sekali tak melihat apapun.

Pada momen buka kado keesokan harinya, aku dan Zidane berkali-kali dibuat senang oleh beragam benda unik dari keluarga dan sahabat. Ada yang memberi stroller bayi, yang mungkin maksudnya mendoakan agar kami cepat punya momongan. Juga hadiah-hadiah lainnya.

Aku juga membuka hantaran yang dibawa rombongan dari pihak mempelai pria. Barulah aku tahu, ada satu keranjang yang out of the box. Maksudku sama sekali bukan permintaan pihak orang tuaku. Isinya, enam belas cangkir antik yang ternyata adalah peninggalan nenek Ami. Wow!

Aku terkejut sekaligus senang. 

Sebagai penggemar barang-barang rustik, aku tak perlu repot-repot ke toko barang antik untuk mendapatkan cangkir antik nan cantik ini. 

Aku pun berinisiatif untuk menatanya di lemari kaca di ruang makan. Dua cangkir yang tampak sangat klasik, langsung kubawa ke dapur untuk kugunakan minum teh bersama Zidane nantinya.

*

Pagi itu, selesai sarapan roti dan teh manis, aku langsung membuka laptop di kamar. Urusan beres-beres dapur, kutunda nanti saja.

Kebetulan Zidane langsung berangkat kerja begitu selesai sarapan. Suasana rumah hening dan sangat nyaman untuk pekerjaan menulis. Sampai di suatu waktu, aku mendengar suara orang mencuci piring di dapur. Tapi, bukankah aku sendirian di rumah? Lalu siapa yang...

Buru-buru aku ke dapur, memeriksa kebenaran yang kudengar tadi. Dan...

Tidak ada siapa-siapa di sana. Meja makan pun masih seperti sedia kala. Bertaburan piring, roti gandum, selei kacang dan toples gula.

Tunggu. Cangkir teh aku dan Zidane?

Kedua benda itu ternyata sudah bersih dan tertelungkup di rak piring kecil dekat jendela. Tapi, bukankah tadi aku dan Zidane menggunakannya?

Benar. Kedua cangkir antik itu dalam keadaan basah, dan wastafel juga basah. Padahal sejak semalam tak ada aktivitas mencuci piring di sini. Aneh...!

*

Kira-kira sebulan lamanya tak ada kejadian ganjil yang berkaitan dengan cangkir antik peninggalan nenek Ami. Perlahan aku mulai melupakan kejadian pagi itu.

Tapi di suatu tengah malam, antara mimpi dan terjaga, samar-samar aku mendengar denting cangkir di ruang makan.

Kubuka mata. Kudapati Zidane pulas di sisiku. Bukankah kami hanya berdua di rumah? Apakah tadi itu tikus?

Tak ingin membuang waktu, aku melompat dari tempat tidur. Kuraih raket nyamuk di atas meja. Berani-beraninya makhluk pengerat itu mengganggu peralatan makan kami.

Setelah menekan saklar lampu dan sibuk mencari-cari, akhirnya aku terduduk di kursi.

Hampa. Tak ada suara tikus, ataupun jejaknya menggigit bungkus makanan di meja. Juga tak ada sampah yang dihamburkan di dapur. 

Jlep! Empat belas cangkir di lemari kaca, serta-merta duduk manis di atas meja, lengkap dengan keranjangnya.

Ini ajaib. Saat makan malam tadi, aku yakin cangkir antik peninggalan nenek Ami masih tersimpan di lemari kaca. Lalu, siapakah yang melakukan ini semua.

*

Wanita di seberang mejaku, bukannya menganggap aku halu, tapi justru mengumbar senyum sambil menggenggam tanganku.

Ya, akhirnya masalah ini kuceritakan pada ibu mertua. Tentang cangkir yang sudah dicuci secara misterius, serta seluruh cangkir yang tertata rapi di meja makan.

"Ma, kenapa tersenyum?" tanyaku bingung.

Ibu mertua lalu memandangiku lekat-lekat. Seakan ada seribu cerita yang urung dikatakannya. Mungkinkah itu sebuah rahasia? Pikiranku bertambah bimbang saja.

"Madina, setiap selesai sholat, berdoa juga untuk nenek Ami, ya?" kata beliau akhirnya, yang kusambut dengan anggukan cepat.

Barulah aku sadar, selama ini aku lupa mendoakan nenek Ami. Padahal beliau sangat sayang padaku. Bahkan ia baru bisa ikhlas meninggalkan dunia fana ini, setelah melihat kedatanganku. Mirip dengan orang berpamitan, bukan?

Sebenarnya apa yang membuatku sampai lupa mendoakan nenek Ami? 

Apakah karena aku sibuk? Atau karena aku tak cukup lama mengenal nenek renta itu?

Seketika air mataku mengalir. Bagaimana mungkin aku menyayangi Zidane tanpa melihat asal-usulnya? Bagaimana juga aku menyenangi cangkir antik itu tanpa berterima kasih kepada pemiliknya?

Sejak saat itu, aku rutin mendoakan nenek buyut Zidane, serta menziarahi kuburnya sebisa mungkin.

Entah ada hubungannya atau tidak, sampai aku melahirkan dua anak, tak pernah ada kejadian ganjil tentang cangkir antik nenek Ami lagi.

SELESAI

Cerpen ini sebagai pengingat kita bersama, untuk setia mendoakan dan menziarahi keluarga yang sudah mendahului.

Kota Tepian, 30 November 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun