Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Singgasana Hati Ibu

28 Februari 2022   06:40 Diperbarui: 1 Maret 2022   18:19 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Singgasana Hati Ibu|foto: niravpatelphotography.com

Seorang wanita dengan rambut yang belum disisir, selalu bangun lebih awal dari suami dan ketiga anaknya. Hatinya selalu diliputi rasa was-was. Ia menginginkan sisa uangnya, bisa cukup untuk kebutuhan keluarganya. Tapi itu selalu saja sulit.

Suaminya, hanya orang kecil. Dari pagi hingga sore, bekerja sebagai buruh bangunan. Dan gaji harian yang didapatkan, seringkali tidak sesuai untuk daftar belanja serta keperluan lainnya.

Wanita itu, tak tertarik mengambil pekerjaan sebagai buruh cuci atau asisten rumah tangga. Ia mempunyai balita yang harus dirawat, serta dua anak perempuan yang sudah duduk di bangku Sekolah Dasar. 

Dengan idealismenya., ia ingin keduanya selalu mempunyai nilai yang bagus di sekolah. Selalu paham pelajaran yang diberikan oleh guru, dan kelak bisa menjadi anak yang berguna. Mengangkat derajat keluarga, misalnya.

Seperti pagi ini, tanpa berusaha memperbaiki penampilannya lebih dulu- sekedar menyisir rambut atau membasuh wajahnya-ia sudah mendatangi tempatnya menyimpan dompet.

Sekali waktu, dompetnya memang berisi cukup banyak uang. Tapi jumlahnya akan segera menjadi nol sebab digunakan untuk ini dan itu.

Seringnya, setelah suaminya menerima gaji mingguan, wanita itu melenggang ke pasar sambil menarik nafas lega. Ia membeli berbagai keperluan seperti beras, minyak, sabun dan tetek-bengek lainnya.

Kalau boleh jujur, wanita ini tidak siap dengan keterbatasan keluarganya. Ia tak meminta mobil mewah atau emas permata. Setidaknya ada simpanan uang untuk biaya si sulung  masuk sekolah lanjutan.

Kehidupan memang sulit, bagi orang seperti dirinya. Wanita itu bahkan sering memikirkan masa depan ketiga anak perempuannya. Akankah terhimpit dan terjepit seperti dirinya?

Dengan tertatih-tatih, diusahakannya Raisa, si anak sulung, terus mengenyam pendidikan. Sampai "sakit" kepalanya mengelola uang yang ada demi terus mengasapi dapur, sambil menyisihkan biaya membeli seragam sekolah dan buku-buku.

Belum lagi dua adik Raisa yaitu Laksmi dan Rindu. Baginya anak perempuan juga butuh pendidikan formal. Butuh pintar. Tanpa itu semua mereka akan sulit bangkit dari hidup yang sebelumnya.

Tidak seperti suaminya yang terlihat pasrah dan menyerahkan semua pada sang takdir. Wanita itu terus berpikir sepanjang siang dan malam. Begitu ketakutan ketiga anaknya akan kelaparan karena tak cukup makan. Kekurangan biaya pendidikan dan putus sekolah. Lalu akhirnya hanya berjodoh dengan orang kecil lagi.

"Hidup sebagai orang kecil itu tidak enak, Nak," katanya suatu kali kepada Raisa. "Sekolah yang benar, supaya kau mudah meraih jalanmu untuk bahagia. Jangan seperti ibu, ya??" 

Gadis itu mengangguk. Dilupakannya keinginan untuk tumbuh sebagai remaja yang ceria. Kesana-kemari dengan tentengan gawai dan motor model masa kini. Hura-hura di kafe dengan kartu kredit dari orang tua. Raisa sadar siapa kedua orang tuanya.

*

Pasar, selalu memberikan kejutan. Tentang harga-harga yang meroket naik, tentang dompet yang kecopetan, bahkan terkejut karena bertemu kawan lama!

Seperti suatu hari, saat wanita itu tak sengaja bertemu kawan lamanya, Megantara. Ia pemilik toko emas di pasar dengan tiga orang karyawan. Lebih mengejutkan, sampai setua ini kawannya itu belum juga menemukan tambatan hati. 

Sulit dipercaya dan keterlaluan. Bukankah berumah tangga juga mempunyai waktu terbaik untuk dijalani? Bagaimana kalau "terlambat" seperti ini?

Dulu, semasa sekolah, Megantara termasuk siswa pendiam dan tidak punya banyak teman. Ia lebih nyaman menghabiskan waktunya dengan membaca di perpustakaan. Bahkan setelah jam pelajaran terakhir, ia masih berusaha membaca sampai sekolah benar-benar bubar. 

Sebenarnya, wanita itu pernah menaruh hati pada Megantara. Namun yang bersangkutan tak sempat mengetahuinya sampai mereka lulus sekolah. Ternyata hidup mempertemukan mereka lagi, setelah lebih dari dua puluh tahun.

Sambil menikmati gurihnya bubur ayam, keduanya saling bertukar cerita. Tak mempedulikan ramainya pasar di akhir pekan.

Megantara berencana mengunjunginya besok. Wanita itu sempat memberitahu apa pekerjaan suaminya yang membuat hidupnya terlalu menyedihkan. Kebetulan, Megantara ingin sedikit merenovasi rumah. Mendengar keluhan wanita itu, ia berniat sekalian membantu.

Tentu saja wanita itu menyambut dengan hati berbunga-bunga. Pertemuan tidak sengaja ini telah membawa keberkahan tersendiri. Sayang mereka tak sempat berjodoh, batin wanita itu. Kini Megantara menjelma sebagai seorang mapan. Sungguh kriteria pria idaman.

*

Di hari yang disepakati, wanita itu menerima kedatangan Megantara. 

Raisa muncul dari dapur menyuguhkan secangkir teh tawar serta ubi rebus.

Sang suami menyanggupi pekerjaan yang ditawarkan. Mengganti lantai rumah Megantara dengan bahan granit putih. Tentu saja wanita itu merasa lega. Ia bisa menambah pundi-pundi rupiah untuk Laksmi melanjutkan ke jenjang SMP. 

Dan lagi, sepertinya saat wanita itu bangun pagi, ia tak perlu lagi menuju dompetnya. Mengkhawatirkan segala kemuraman yang melemahkan jantung.

Justru, jantungnya berdegup kencang, saat wanita itu menerima kedatangan Megantara, delapan bulan kemudian. Hatinya berkecamuk, entah harus senang atau sebaliknya.

"Jika kalian izinkan, saya berniat meminang Raisa sebagai istri..."

Cukup singkat kalimat yang didengar wanita itu. Namun singgasana di hatinya seakan terusik. Berbeda dengan sang suami yang tampak tenang.

Beribu pertanyaan memenuhi alam pikirnya. 

Dibayangkannya Raisa yang belia bersanding dengan Megantara, teman sekolahnya dulu. Ah, apa tidak terlalu tua? bisik wanita itu lirih.

Tetapi di sisi lain, Raisa berkesempatan melanjutkan pendidikannya di bangku kuliah, sekaligus menjadi nyonya di rumah besar itu. Kehidupannya akan benar-benar terjamin seperti yang diharapkan wanita itu. Kurang apa lagi?

Laksmi dan Rindu juga akan lebih terurus, sebab ia tak harus fokus pada si sulung Raisa. Gadis penurut itu mungkin saja tengah merasakan buah dari doa-doanya.

Wanita itu menutup wajahnya dengan telapak tangan. Menunggu gemuruh di hatinya mereda.

__________

Kota Tepian, 29 November 2021

Cerpen Ayra Amirah, diikutsertakan pada event Festival Menulis Ellunar 7 tahun 2021

Terpilih sebagai cerpen antologi A Book with Hundred Colors of Story jilid 1

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun