"Sayang, aku bisa jelaskan. Kita duduk di ruang depan, ya...
"Minum dulu teh-nya, sayang," kata Mas Rafa yang langsung kutolak.
Aku berusaha mengelola perasaanku, walau saat ini rasanya emosiku siap meledak. Aku paling tak suka ada perempuan lain di rumah kami.Â
"Aku minta maaf, Sayang. Aku tidak berterus terang.
"Sebenarnya aku hanya ingin melindungi perasaanmu. Aku tahu kau pasti terluka bila mendengarnya."
"Apa maksudmu?" tanyaku menghujam.Â
Mas Rafa kelihatan sangat serius. Beberapa lama aku menunggu jawabannya. Sepertinya ia memikirkan kata-kata yang paling tepat.
"Kami sudah menikah enam bulan yang lalu. Kita akan punya anak, Sayang. Dan kita akan merawatnya bersama-sama. Jadikanlah Soleha adikmu, maka kau akan punya keluarga  di sini..."
Seketika air mataku runtuh tak terbendung mendengar kalimat terakhir Mas Rafa.
"Jadi ini rencanamu ya??"Â
"Sayang, aku tidak ingin kita bercerai-berai. Aku ingin kita tetap menjadi pasangan suami istri."