"Shilla, sepertinya kamu kecapaian. Rumah ibu terlalu besar untuk kamu urus sendiri..." bisik Mas Rafa lembut, sambil menyiapkan kompres. Sudah dua hari ini aku tak enak badan. Suhu termometer pun cukup tinggi. Obat penurun panas yang kuminum, sepertinya belum menunjukkan perubahan.
"Kita bisa mulai mencari asisten rumah tangga, Sayang," kata Mas Rafa lagi.
" Nanti sajalah Mas, kalau kita sudah punya anak," Â kataku menolak usul Mas Rafa.
Bukan apa-apa. Sebenarnya aku tidak ingin ada perempuan lain yang tinggal serumah dengan kami Aku sangat menyayangi Mas Rafa aku tidak ingin dia dia membagi cinta untuk wanita lain.Â
"Kamu cemburu ya?" tanya Mas Rafa menggodaku.
Aku hanya diam Mas Rafa tahu betul sifatku. Mungkin itulah sebabnya Mas Rafa tidak ingin berterus terang tentang apa yang dipikirkannya.
Setahun berlalu, dan aku masih belum menunjukkan tanda-tanda kehamilan.Â
Lima hari dalam seminggu, aku berdiam di rumah dan hanya mengerjakan pekerjaan ringan. Aku tak boleh kecapaian, kata Mas Rafa. Lagi pula sudah ada ada Encik Maira. Dia masih keluarga jauh Mas Rafa. Encik Maira membantuku mengerjakan pekerjaan rumah. Sore hari ia pulang ke rumah yang jaraknya tak terlalu jauh.
*
Ada yang aneh akhir-akhir ini. Sudah beberapa kali aku  mendengar suara sendok beradu dengan cangkir. Mirip suara seseorang mengaduk teh panas.Â
Mas Rafa tidak ada di tempat tidur. Pastilah seseorang di dapur itu, Mas Rafa. Mungkin ia ingin minum teh panas tengah malam. Aku pun memutuskan melanjutkan tidurku.