Setelah menikah, ini adalah pertama kalinya aku dan Mas Rafa pulang. Menjelang empat puluh hari ayah mertua berpulang dan PPKM telah dilonggarkan, barulah kami bisa melakukan serangkaian tes dan bertolak ke Malaysia.
Sebagai anak tunggal, sebenarnya Mas Rafa tidak perlu repot-repot bekerja di Indonesia. Tetapi menurutnya, ia ingin bekerja sesuai passion. Kebetulan seniornya semasa kuliah mengajak bekerja sama.
Mungkin itulah yang disebut jodoh. Ada saja alasan untuk mempertemukan aku dan Mas Rafa yang beda negara. Dan aku cukup beruntung, langsung diterima sebagai menantu. Ayah dan ibu mertua bahkan setuju pesta pernikahan dilangsungkan di Jakarta. Kurang apa lagi?
Tapi memang benar, bahwa hidup tidak akan lepas dari masalah. Di situlah kekuatan cinta akan diuji. Bagaimana kami akan meredakan letupan dengan cara yang dewasa. Mempertahankan hubungan rumah tangga, walau itu tak mudah.
Hari-hari pertama tinggal di rumah mertua, semua terasa wajar dan cukup menyenangkan. Sesuai surat wasiat, Mas Rafa diamanatkan mengelola usaha roti milik almarhumah ibu mertua, yang mendahului bapak mertua tiga bulan sebelumnya.
Mas Rafa berangkat jam sembilan pagi dari rumah, dan baru pulang lagi sekitar jam sembilan malam. Sabtu dan minggu (weekend)Â aku boleh ikut ke toko bantu-bantu mengawasi para koki di dapur roti.
Tiga tahun berlalu. Anniversary pernikahanku dan Mas Rafa ke-4 pun tinggal menghitung hari.Â
Tak terasa, tapi makin kesini rasanya kian mencemaskan posisiku sebagai wanita. Bagaimana kalau ternyata aku tak bisa memberikan keturunan? Apakah Mas Rafa akan berpaling mencari istri baru?
Mungkin karena terlalu banyak memikirkan masalah ini, aku jadi stres sendiri. Ajakanku agar kami memeriksakan diri, ditampik oleh Mas Rafa dengan alasan tak perlu. Memang, sepanjang yang kutahu, Mas Rafa trauma dengan hasil laboratorium ibunya yang pernah tertukar dengan pasien lain. Walau sebenarnya kekeliruan seperti ini peluang terjadi adalah satu banding seribu. Ya sudahlah, mana mungkin aku memaksa.
*