Naura merasa musim panas mengeringkan batangnya yang coklat. Sebagian daun-daunnya menguning dipanggang sang takdir. Sebuah genangan kecil, tempat minum para hewan, tak mampu dijangkau oleh akarnya saat ini.
Hup! Tiba-tiba seekor bunglon Panther menerjang dirinya. Terengah-engah kelelahan dengan wajah ketakutan.
"Wahai pohon kecil, tolong selamatkan aku dari manusia. Mereka ingin membawaku..." pinta reptil jantan bertubuh besar.Â
"Aku harus menjaga betinaku yang sedang hamil. Aku tak boleh menjadi buruan mereka demi uang yang banyak. Jenisku akan segera punah!"
Naura mendengarkan perkataan bunglon dengan perasaan sedih. Sudah sering ia mengetahui perburuan satwa yang disukai manusia, dan semua menyasar jenis yang terhitung langka.
"Tenanglah tuan Bunglon, kau aman di sini. Renggangkan saja kulitmu, dan lilitkan ujung ekormu," saran Naura memberi petunjuk.
Rombongan peneliti reptil itu sempat mendekati pohon anting putri. Tapi karena daun-daunnya menguning, rontok dan kecil-kecil, mereka urung berteduh di bawahnya. Keempat lelaki itu berjalan melewati dirinya, lalu menghilang di balik rimbunan pohon.
"Aku selamat!" seru bunglon Panther bahagia. Ia dapat menjaga sang betina sampai melahirkan. Bagus sekali jika ia tak sampai punah. "Baiklah pohon yang baik hati. Aku akan mengabulkan satu permintaanmu sebagai tanda terima kasih. Apa permintaanmu?" katanya lagi.
Naura terdiam, tak tahu harus mengatakan apa. "Aku tidak layak, tuan Bunglon. Aku ikhlas membantumu," jawab Naura akhirnya.
Menjelang senja, sepeninggal bunglon, Naura kembali diliputi rasa khawatir. Bagaimana kalau penyihir itu datang lagi? Mariah selalu menandai kegelapan dengan bau terbakar, diikuti mantra-manta magisnya. Bahkan karena bunga-bunga putihnya memesona serangga jantan, ia harus menjadi anak kelelawar yang kelaparan.
Di tengah kesedihannya, kembali hutan menjadi benderang. Ratusan kunang-kunang kembali menghiasi dirinya sedemikian rupa. Sampai seisi hutan menjulukinya pohon jelita.