Di belahan dunia manapun, terdapat kehidupan yang tak sama persis satu dengan yang lainnya. Rasa bahagia diciptakan oleh individu itu sendiri. Nah, sejak itu aku tak pernah bertanya-tanya lagi, bagaimana sih rasanya duduk dalam pangkuan ibu, atau menangis dalam dekapan ayah saat ada yang membuatku sedih?
Cukuplah aku mempunyai seorang nenek. Aku bisa meminta apa saja padanya. Kue pai buatan nenek sangat enak. Nenek juga pandai menjahit bonekaku yang rusak. Kapan saja, aku bisa lari ke pelukan nenek dan meminta perlindungan. Lagi pula dengan kehidupanku yang seperti itu, tak ada anak yang mengganggu atau mengataiku. Kurasa hidup menjadi sangat adil karenanya.
Oya, masih ada lagi. Nenek tak ubahnya seperti tongkat ajaib bagiku. Aku bisa meminta apa saja dan nenek pasti mengabulkan.Â
Jika aku tak suka mawar putih yang diletakkan di vas kaca, nenek mengizinkan aku menggantinya dengan yang merah. Kalau aku menolak telur setengah matang, maka nenek akan menggantinya dengan dendeng daging kesukaanku.Â
Namun begitu, aku sadar nenek tak memanjakanku. Malam hari sebelum tidur, sambil mengelus-elus rambutku, nenek menceritakan dongeng anak-anak dan menasihatiku.
Kisah "Gadis Penjual Korek Api" kata nenek mengisyaratkan aku patut bersyukur karena mempunyai nasib yang lebih baik darinya. Namun aku harus bersemangat seperti gadis dalam cerita itu. Tegar atas apa saja yang menderaku.
Ya, semua itu memang benar.Â
Saat usiaku genap lima belas tahun, nenek yang kucintai itu pun jatuh sakit. Bukan karena kecapaian atau batuk biasa. Demam yang dialaminya, membuat mata tuanya menutup untuk selamanya.
Tak ada lagi tangan keriput yang menyentuh pipiku. Tak ada perhatian tulus saat hatiku mulai dilanda cinta pertama. Tak ada senyum tawa nenek yang paling kurindukan.
Aku harus melewati hidupku, dan kali ini benar-benar hanya sendirian.Â
Hingga akhirnya di usia tujuh belas, aku bertemu jodoh yang sangat baik.Â