Tak semua orang punya ibu. Ya, contohnya aku. Sejak bayi, neneklah yang mengasuh dan merawatku. Kata nenek, ibu mengembuskan nafas terakhir saat melahirkanku. Sementara ayah, akhirnya menikah dengan wanita lain.
Aku tak sakit hati, bila melihat teman-teman di sekolah datang dan dijemput oleh orang tuanya, sementara aku hanya berjalan kaki sendiri. Itu karena nenek sudah terlalu tua untuk menemaniku. Aku harus menerima apapun takdir kehidupanku.
Mungkin rasanya cukup berbeda, dibesarkan oleh ibu kandung atau nenek, seperti yang kualami. Tapi aku bahagia, karena nenek sangat menyayangiku.
Temanku sebangku di sekolah, Keenan, kurasa tak seberuntung nasibku. Ibu dan ayahnya bekerja dari pagi hingga sore, lima hari dalam seminggu. Yang menemaninya di rumah hanyalah nona Susan, penjaganya. Meski ia wanita yang baik, tetapi mereka tak mempunyai pertalian darah. Aku yakin itu pasti berbada.
Pagi hari, nenek sudah membangunkan. Segelas susu hangat dan roti gandum di meja, tersaji untukku. Nenek bilang aku harus menyempatkan sarapan, sebab itu akan sangat berguna.
Beberapa bulan yang lalu, nenek masih menggosok-gosok badanku dengan sabun. Nenek memandikanku pagi dan sore. Tapi sejak aku sekolah, aku belajar untuk melakukannya sendiri.Â
Selesai berdandan, yang tetap dilakukan nenek adalah mencium pipiku dan bilang aku begitu cantik dan wangi. Kurasa seorang penjaga anak tak akan melakukan itu, bukan?
Ini berlangsung terus sampai aku berusia sebelas tahun. Selanjutnya, akulah yang mendatangi nenek untuk mencium keningnya pagi dan sore. Ya, karena nenek sangat berjasa menjaga dan merawatku selama ini.
Kuceritakan lagi, dulu sepulang sekolah aku selalu bebas bermain. Memanjat pohon ceri merah atau bermain seharian di padang rumput dan semak. Mencari bunga-bunga liar, lalu melingkarkannya ke rambutku. Semua menyenangkan hatiku. Apalagi nenek tak pernah memarahiku.
Pada libur sekolah, tentu aku menemani nenek mencari ranting kayu bakar. Mosi dan Dudu, kucingku, menemani kami keluar masuk hutan. Tingkahnya sangat manja, membuat hari-hariku tak pernah kesepian.
Kata nenek, hidup itu sama saja. Tergantung bagaimana hati kita menerimanya.Â
Di belahan dunia manapun, terdapat kehidupan yang tak sama persis satu dengan yang lainnya. Rasa bahagia diciptakan oleh individu itu sendiri. Nah, sejak itu aku tak pernah bertanya-tanya lagi, bagaimana sih rasanya duduk dalam pangkuan ibu, atau menangis dalam dekapan ayah saat ada yang membuatku sedih?
Cukuplah aku mempunyai seorang nenek. Aku bisa meminta apa saja padanya. Kue pai buatan nenek sangat enak. Nenek juga pandai menjahit bonekaku yang rusak. Kapan saja, aku bisa lari ke pelukan nenek dan meminta perlindungan. Lagi pula dengan kehidupanku yang seperti itu, tak ada anak yang mengganggu atau mengataiku. Kurasa hidup menjadi sangat adil karenanya.
Oya, masih ada lagi. Nenek tak ubahnya seperti tongkat ajaib bagiku. Aku bisa meminta apa saja dan nenek pasti mengabulkan.Â
Jika aku tak suka mawar putih yang diletakkan di vas kaca, nenek mengizinkan aku menggantinya dengan yang merah. Kalau aku menolak telur setengah matang, maka nenek akan menggantinya dengan dendeng daging kesukaanku.Â
Namun begitu, aku sadar nenek tak memanjakanku. Malam hari sebelum tidur, sambil mengelus-elus rambutku, nenek menceritakan dongeng anak-anak dan menasihatiku.
Kisah "Gadis Penjual Korek Api" kata nenek mengisyaratkan aku patut bersyukur karena mempunyai nasib yang lebih baik darinya. Namun aku harus bersemangat seperti gadis dalam cerita itu. Tegar atas apa saja yang menderaku.
Ya, semua itu memang benar.Â
Saat usiaku genap lima belas tahun, nenek yang kucintai itu pun jatuh sakit. Bukan karena kecapaian atau batuk biasa. Demam yang dialaminya, membuat mata tuanya menutup untuk selamanya.
Tak ada lagi tangan keriput yang menyentuh pipiku. Tak ada perhatian tulus saat hatiku mulai dilanda cinta pertama. Tak ada senyum tawa nenek yang paling kurindukan.
Aku harus melewati hidupku, dan kali ini benar-benar hanya sendirian.Â
Hingga akhirnya di usia tujuh belas, aku bertemu jodoh yang sangat baik.Â
Kini, di hari pernikahanku, selembar foto kenangan  kutemukan dari dalam laci. Wanita tua dengan kain penutup kepala dan cucu perempuan yang sangat cantik.
Nenek, jika engkau hadir di hari ini, tolong berikan restu untuk cucumu ini. Engkau adalah pahlawan bagiku. Engkau menjagaku dengan sepenuh cinta.
SELESAI
Cerpen ini diikutsertakan dalam rangka mengikuti eventmenulisrtc yang diadakan oleh rumahpenainspirasisahabat @Kompasiana dalam rangka memperingati haripahlawan2021. Salam RTCÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H