Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ternyata Rumah Bapak adalah Panti Jompo

7 November 2021   06:11 Diperbarui: 7 November 2021   06:41 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Ternyata Rumah Bapak adalah Panti Jompo|Dr Liv Gibbs (@DrLivGibbs)/Pinterest

Bukan karena aku seorang wanita, ketika bening kesedihan mengubah mata ini menjadi danau. 

Aku terpaku, di bangku kayu yang tak kalah tua. Menatap dinding suram yang dulu menyaksikan dua gadis kembar nan lucu.

Hhh... itu sudah lama berlalu. Sekarang aku dan Julia menjelma dewasa, pemberani dan kuat.

Kuperhatikan Bapak fokus pada cangkir teh, mengaduk gulanya hingga larut, dengan bibir senyum.

Sudah berapa lama, aku mengabaikan bapak. Tak datang barang menjenguk. Sibuk dengan suami, anak-anak, dan pekerjaan rumah.

Jelas tampak, perabot yang tak terurus dan berantakan di ruangan itu. Sepeninggal ibu, bapak sendirian menanggung sepi, dan juga terabaikan.

Aku dan Julia, rasanya sungguh keterlaluan. Di rumahnya sendiri, bapak seakan jadi terbuang. Mirip penghuni panti jompo yang tak dibutuhkan anak-anaknya lagi.

"Lho, kenapa nangis?" tanya bapak begitu menatapku.

Terkesiap, panik, aku menyeka pipi. Gegas kuambil piring dari dapur, menyiapkan makan siang bapak. Hanya nasi bungkus yang kubeli di perjalanan tadi.

"Bapak belum lapar," tolak bapak sungguh-sungguh. Lalu meneguk teh manis yang dibuatnya. "Sebaiknya kamu pulang, kasihan cucu-cucu bapak tidak ada yang menemani..."

Untuk jawaban seperti ini, aku sama sekali tidak kaget apalagi tersinggung. 

Sebenarnya inilah alasan mengapa aku jarang menemui bapak. Baru saja beberapa saat, sudah diminta pulang dengan alasan dibuat-buat.

Berkali-kali bapak mengutarakan niatnya ingin menikah lagi. 

Aku dan Julia kecewa. Bapak tidak bisa menjaga cintanya pada ibu yang sudah empat puluh dua tahun mendampingi. Ditambah lagi ingatan bapak sudah pernah menikah diam-diam saat ibu masih hidup. 

"Saya pamit, Pak," kataku sambil mencium punggung tangan bapak. 

Tak ada gunanya berdebat. Bapak mungkin ada janji dengan seseorang. 

"Hati-hati di jalan, ya Nak..." aku mengangguk, lalu berjalan ke arah kendaraanku parkir. Sempat kulirik tanaman anggrek kesukaan ibu. Bunganya sedang mekar, cantik sekali.

Kutatap rumah bapak terakhir kali sebelum berangkat. Ada sesak yang tak terobati. 

Sebenarnya aku ingin menemani bapak, tinggal satu rumah bersama cucu dan menantunya. Tapi bapak bersikeras ingin hidup sendiri saja. Aman dari bising anak-anak kecil, dan lebih privat dalam kehidupannya.

Ternyata rumah bapak adalah panti jompo. Sepi dan berjarak dengan anak-anaknya. Lebih merasa nyaman berkumpul dan tertawa dengan sahabat-sahabatnya saja.

Ya Allah, mohon ampuni dosa hamba. Tolong jaga bapak. Semoga selalu sehat dan bahagia di rumah itu.

Angin semilir bertiup. Selembar daun kering terlepas, lalu melayang jatuh ke tanah.

SELESAI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun