Untuk jawaban seperti ini, aku sama sekali tidak kaget apalagi tersinggung.Â
Sebenarnya inilah alasan mengapa aku jarang menemui bapak. Baru saja beberapa saat, sudah diminta pulang dengan alasan dibuat-buat.
Berkali-kali bapak mengutarakan niatnya ingin menikah lagi.Â
Aku dan Julia kecewa. Bapak tidak bisa menjaga cintanya pada ibu yang sudah empat puluh dua tahun mendampingi. Ditambah lagi ingatan bapak sudah pernah menikah diam-diam saat ibu masih hidup.Â
"Saya pamit, Pak," kataku sambil mencium punggung tangan bapak.Â
Tak ada gunanya berdebat. Bapak mungkin ada janji dengan seseorang.Â
"Hati-hati di jalan, ya Nak..." aku mengangguk, lalu berjalan ke arah kendaraanku parkir. Sempat kulirik tanaman anggrek kesukaan ibu. Bunganya sedang mekar, cantik sekali.
Kutatap rumah bapak terakhir kali sebelum berangkat. Ada sesak yang tak terobati.Â
Sebenarnya aku ingin menemani bapak, tinggal satu rumah bersama cucu dan menantunya. Tapi bapak bersikeras ingin hidup sendiri saja. Aman dari bising anak-anak kecil, dan lebih privat dalam kehidupannya.
Ternyata rumah bapak adalah panti jompo. Sepi dan berjarak dengan anak-anaknya. Lebih merasa nyaman berkumpul dan tertawa dengan sahabat-sahabatnya saja.
Ya Allah, mohon ampuni dosa hamba. Tolong jaga bapak. Semoga selalu sehat dan bahagia di rumah itu.