Miris hati, setiap kali menyaksikan anak lelaki harus putus sekolah, atau malah sengaja meninggalkan bangku sekolah.
Kami mempunyai tiga anak perempuan, dan sempat mengimpikan punya anak lelaki, sebelumnya. Ternyata urusannya tak sesederhana itu. Mempunyai anak lelaki, berarti sekaligus mendesain seperti apa masa depannya kelak.
Terkadang, keadaan dan nasib lebih bersuara nyaring. Anak-anak itu terlanjur tak menghiasi diri dengan ilmu. Gagal mengisi backpack dengan bekal perjalanan yang kelak dilakoni. Lalu apakah bisa hidup sejahtera bersama keluarga kecilnya?
Siang berganti malam, dan pagi datang menjelang. Waktu pun habis terbuang percuma. Bermain-main belaka tanpa ada satupun karya.
Tibalah saatnya berumah tangga, menjadi seorang kepala keluarga. Menjadi penentu roda perekonomian, apapun jalannya. Menjadi pekerja informal, membanting tulang demi sedikit imbalan. Menahan kesusahan, dan mungkin cemoohan.
Baginya, keluarga menjadi tanggung jawabnya. Bukan hanya tentang dapur yang harus ngebul, tetapi anak-anaknya jangan sampai mengikuti jejaknya. Sebuah penyesalan yang terbungkus oleh cita-cita mulia.
Berjuta pasang mata menyaksikan, orang-orang kecil bekerja keras tak kenal menyerah. Dia tak boleh rebahan, karena sesuap nasi hanya datang dari seikat jerih-payah. Begitulah ia berprinsip.
Maka ditantangnya matahari kehidupan. Panas terik tak pernah dihiraukan. Hujan ia kebasahan, malam ia kedinginan. Tulang punggungnya harus kuat memikul semua beban.
Direlakannya harga diri sebagai tukang sampah, tukang keruk gorong-gorong, kuli angkut pelabuhan, dan pengepel dinding kaca gedung-gedung.
Berpeluh demi keluarga tercinta, dan terkadang masih harus bertaruh nyawa. Jatuh dari ketinggian, tanpa pengaman ataupun jaminan pengobatan.