Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rumah Susun untuk Maudy

19 Oktober 2021   07:19 Diperbarui: 19 Oktober 2021   09:13 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hubungan cinta dua insan beda kasta ataupun status sosial, terjadi sejak zaman Romawi sampai hari ini. Tetapi, perasaan cinta yang menggelora dan berapi-api, tak akan padam hanya tanpa restu kedua orang tua. 

Karena alasan inilah, Maudy mengangguk saat Ken menyanggupi persyaratan yang diajukan papa Arga, papanya Maudy. Mereka harus berjuang agar cinta ini bisa bersatu.

Sebagai pemuda dari keluarga biasa, Ken cukup bermental baja untuk menghadapi penolakan sekaligus penghinaan dari papa Arga. Apalagi gadis yang dia pilih, memang sangat layak untuk diperjuangkan.

Maudy adalah gadis yang teramat cantik, lembut dan keibuan. Ken sangat meyakini, wanita seperti inilah yang pantas menjadi ibu dari anak-anaknya kelak. Dia pun akan hidup bahagia bersama istri yang setia dan penyayang seperti Maudy.

Sesederhana itu cara berpikir orang yang sedang mabuk cinta. Maudy pun, menolak jodoh yang dipilihkan papa Arga dan lebih memilih Ken. Menurutnya Ken adalah laki-laki romantis dan sangat bertanggung jawab. Maudy nyaman dengan Ken.

"Baiklah. Kalau kau benar-benar mencintai putri saya, kau bisa menikahi dia asal..." kata papa Arga dengan sorot mata tajam.

"Asal apa, Pa?" sambut Maudy harap-harap cemas.

"Asal Ken bisa membeli satu unit hunian vertikal di jalan Sudirman. Sebab saya tidak mau Maudy hidup susah, tinggal di rumah kontrakan bla bla bla..." tandas papa Arga.

"Tapi Pa, Maudy nggak suka tinggal di apartemen..." sanggah Maudy bermaksud untuk menyelamatkan Ken.

"Darling, itu masalah kecil. Kita bisa atasi itu nanti," jawab pria itu lalu membalikkan badan, masuk ke dalam istananya.

Ken dan Maudy saling berpegangan tangan. Mereka sama memberikan kekuatan satu sama lain. Memang tidak mudah untuk mendapatkan sesuatu, bukan?

"Sayang, kamu tenang saja ya. Aku sudah biasa kok.

Coba deh kamu pikir, kalau kita ingin menikmati kelapa muda yang manis dan segar, kita harus berjuang dulu memanjat pohon kelapa yang tinggi. Kita harus punya keahlian memanjat. Selain itu, risikonya adalah kita bisa saja jatuh dari pohon dan tulang kita patah. 

Ya kan?"

Antara bersemangat dan sedih, Maudy lalu menjawab, "Tapi harga satu unit apartemen di kawasan Sudirman itu, selangit, Sayang?!"

Dengan tatapan teduh, Ken membelai kepala kekasihnya. "Kita berdoa kepada Allah, kita serahkan kelemahan kita di hadapan Allah, karena hanya Allah yang Mahaperkasa,  Sayang..."

*

Malam-malam berikutnya, Maudy tak dapat tidur. Di kamarnya, gadis itu gelisah bukan main. Bagaimana Ken sanggup memenuhi persyaratan yang diberikan Papa? 

Ken bukan Bandung Bondowoso yang mempunyai kesaktian untuk membangun candi Prambanan dalam semalam.

Uang puluhan miliar itu tidak akan terkumpul meski Ken bekerja siang malam sampai mereka berubah menjadi kakek-kakek dan nenek-nenek. Ini sama saja Papa melarang Maudy menikah dengan Ken!

Tangis kesedihan tumpah tanpa bisa ditahannya. Maudy tak habis pikir dan merasa papanya sungguh keterlaluan.

*

Di negara Matahari, sudah empat tahun lamanya, Ken bekerja apa saja untuk mengumpulkan pundi-pundi. 

Kesepian ditepisnya dengan sabar, kerinduan kepada gadis pujaan ditahannya dengan ikhlas. Dibesarkannya hati, dipupuknya semangat dengan doa dan keyakinan. Ia tahu, tidak ada yang gratis untuk didapatkan. 

Ken sama sekali tak membenci papanya Maudy. Dianggapnya ini sebagai gemblengan untuk dirinya, bagaimana ia akan menjadi imam yang teguh dan pantang menyerah.

Nun jauh di tanah air, dengan wajah sendu, Maudy menatap rembulan dari balkon kamarnya. 

Seandainya saja kasih sayang papa kepadanya tak memisahkan dirinya dengan Ken, mungkin yang terdengar saat ini adalah derai tawa anak-anak mereka. Toh yang membedakan dirinya dan Ken hanyalah nilai di mata manusia. Di hadapan Sang Pencipta, kita semua sama.

SELESAI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun