Oktober yang buruk, ketika Denik dan pria itu duduk berhadapan, menikmati hidangan seafood yang terasa hambar. Hembusan angin di pantai Anyer, membuat keduanya bergeming satu sama lain.Â
"Mas, kau pernah bilang aku wanita yang pantas dicintai. Ingat?" tanya Denik akhirnya.
Prakasa menatap tepat ke dalam mata wanita di seberang duduknya. Ada sekeping hati yang retak di sana. Berkaca-kaca dan hampir tumpah. Tentu ia masih ingat.
"Oleh orang yang tepat, Sayang. Dan itu bukan aku."
Sepasang bibir mungil terkatup rapat kembali. Diteguknya juice orange untuk menyejukkan tenggorokan yang tiba-tiba kering. Denik tampak begitu menderita.
"Mas juga pernah bilang, kita akan menikah secepatnya, kan?"
"Tapi aku salah. Kita tidak bisa terus memaksa keadaan."
Ah, Denik terhempas. Rasanya lebih menyakitkan dari apapun.Â
Setelah begitu banyak waktu terbuang, dan harapan yang membawanya terbang, Mas Prakasa mengatakan penyesalannya?
Pria sama saja, tidak bisa dipercaya. Denik memaki dalam hati. Sepasang matanya nanar memperhatikan lautan.
"Aku minta maaf, Sayang..." bisik pria itu. Denik menarik tangannya, enggan merasakan genggaman Prakasa lagi. Percuma.
Dua tahun lamanya, mereka menari-nari di atas awan. Bulan dan bintang seakan tersenyum menemani. Penuh gairah hingga lupa diri.
Wanita itu bahkan lupa pada nurani sebagai wanita. Derai-derai air mata Ning tak pernah dihiraukannya. Baginya ini harus diterima, apapun bagian dan "peran" yang didapat.
Denik tak bermaksud sadis. Tetapi siapa yang tak akan jatuh cinta dengan pria kharismatik dan romantis seperti Mas Prakasa? Mungkin saja pria itu lebih pantas untuk dirinya, bukan perempuan biasa seperti Ning.
Buktinya, cincin berlian itu tak pernah menjadi milik istri sahnya, justru untuk Denik. Sebagai simbol ikatan cinta dan kesungguhan Prakasa.
Ohh, ia lupa!Â
Tidak seharusnya cincin berlian itu masih melekat di jari tangannya. Wanita itu segera meloloskan benda yang setahun ini membuatnya semakin terbuai dan berharap.
Wanita itu baru sadar, keunggulannya di dunia kerja dengan jabatan begitu rupa, tak melepaskannya dari kebodohan.
Selama ini ia tersanjung dengan kata-kata manis, dan meninggalkan unsur logika begitu saja.Â
Rasa percaya diri Denik di hadapan petinggi perusahaan besar, kecantikan dan keanggunan yang memikat setiap pasang mata, membawanya pada keyakinan bahwa ia jauh lebih baik dari Ning, perempuan biasa itu.
"Jadi Mas memilih Ning?" tanya wanita itu penuh malu. Jelas setiap pria akan membela istrinya saat sudah bosan, bukan?
"Sayang, aku memilih belahan jiwa dengan segenap doa, dan membawanya dalam hidupku dengan sebuah ikrar kepada Sang Pencipta," papar pria itu.
"Cukup Mas memanggilku sayang. Tinggalkan aku sendiri, Mas..." pinta Denik dengan suara bergetar.
Hatinya hancur sekarang. Ia merasa dihina sekaligus dicampakkan. Kali ini air matanya runtuh tanpa bisa ditahan lagi.
"Bagaimana kita bisa menikah?" tanya pria itu. "Dua tahun lagi putramu mungkin menyelesailan kuliahnya. Lalu dia akan menikah. Bisa dibayangkan kita..."
"Cukup, Mas! Tinggalkan aku sendiri!"
Dengan berat hati, Prakasa melangkah pergi meninggalkan wanita secantik berlian yang dikecewakannya.
Prakasa yakin ini adalah keputusan yang terbaik. Mungkin awalnya akan sangat menyakitkan. Tapi inilah cara agar Denik selalu berkilau dan berharga seperti halnya berlian.
Biarlah ini menjadi pelajaran berharga. Biarlah ia menjadi wanita di pinggir kalbu. Ning dan putrinya yang masih kecil, berhak mendapatkan hatinya yang utuh.
SELESAI
Kisah dua Wanita Secantik Berlian
Kisah satu Wanita di Balik Jabatan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H