"Aku minta maaf, Sayang..." bisik pria itu. Denik menarik tangannya, enggan merasakan genggaman Prakasa lagi. Percuma.
Dua tahun lamanya, mereka menari-nari di atas awan. Bulan dan bintang seakan tersenyum menemani. Penuh gairah hingga lupa diri.
Wanita itu bahkan lupa pada nurani sebagai wanita. Derai-derai air mata Ning tak pernah dihiraukannya. Baginya ini harus diterima, apapun bagian dan "peran" yang didapat.
Denik tak bermaksud sadis. Tetapi siapa yang tak akan jatuh cinta dengan pria kharismatik dan romantis seperti Mas Prakasa? Mungkin saja pria itu lebih pantas untuk dirinya, bukan perempuan biasa seperti Ning.
Buktinya, cincin berlian itu tak pernah menjadi milik istri sahnya, justru untuk Denik. Sebagai simbol ikatan cinta dan kesungguhan Prakasa.
Ohh, ia lupa!Â
Tidak seharusnya cincin berlian itu masih melekat di jari tangannya. Wanita itu segera meloloskan benda yang setahun ini membuatnya semakin terbuai dan berharap.
Wanita itu baru sadar, keunggulannya di dunia kerja dengan jabatan begitu rupa, tak melepaskannya dari kebodohan.
Selama ini ia tersanjung dengan kata-kata manis, dan meninggalkan unsur logika begitu saja.Â
Rasa percaya diri Denik di hadapan petinggi perusahaan besar, kecantikan dan keanggunan yang memikat setiap pasang mata, membawanya pada keyakinan bahwa ia jauh lebih baik dari Ning, perempuan biasa itu.
"Jadi Mas memilih Ning?" tanya wanita itu penuh malu. Jelas setiap pria akan membela istrinya saat sudah bosan, bukan?