Matahari sore menggelincir. Sebentar lagi senja menghiasi jalanan ibu kota. Denik suka melihat cuaca redup seperti itu.Â
Bagi wanita cantik seperti Denik, udara siang yang panas akan jauh menyenangkan saat berubah sejuk. Diikuti titik-titik lampu menyala di kejauhan. Suasana ini paling tepat mengantar para pekerja pulang dengan perasaan damai, setelah penat seharian
Tapi khusus hari ini, wajah menawannya sama sekali tak terlihat bahagia. Wanita itu merasa sedih, di tengah gelimang kemewahan tak berbilang.Â
Kalau boleh memilih, Denik ingin menjadi istri paling sempurna bagi Mas Prakasa.Â
Setiap pagi ia akan membawakan pria itu secangkir kopi dan membuatkan sarapan. Ia rela melepaskan karir dan jabatannya sekarang, demi melahirkan anak-anak mereka. Merawatnya hingga tumbuh dewasa.
Tapi bagaimana mungkin?
Mas Prakasa selalu memenuhi bilik maupun serambi jantungnya dengan berbagai pujian. Menghangatkan dinginya malam dengan dorongan semangat dari ujung telepon. Membelai dan menyelimuti tidurnya dengan impian tentang masa depan.Â
Bukankah ini konyol?
Denik, sendiri saja keluar lift apartemannya di lantai empat puluh. Ia berjalan menyusuri lorong yang sepi, hingga tiba di depan sebuah pintu.
Begitu berada di dalam kamar, ia langsung menghempaskan raga di atas pembaringan. Kulit halusnya  bereaksi menangkap kelembutan dan kenyamanan kelas bintang lima. Sayang tanpa kehadiran Mas Prakasa.
Hidup memanglah seperti ini. Wanita itu teringat apa yang dikatakan kekasihnya. Menurut pria itu, ia terlalu tangguh untuk menguraikan air matanya.
"Wajah ini, tidak pantas menangis sedih..." bujuk Mas Prakasa.
"Aku lelah Mas, aku ingin memilikimu seutuhnya..."
Prakasa terdiam.Â
Sesaat ia menimbang, apakah yang akan dilakukannya sudah tepat?Â
Ditatapnya wajah wanita secantik berlian di hadapannya. Ditekuknya satu kaki hingga membentuk gerakan berlutut. Lalu dikeluarkan kotak kecil dari saku celana.
Ah, Denik masih ingat semua itu dengan jelas. Waktu yang terus berlalu, tak dapat memindahkan ingatannya.
Setahun sudah, cincin berlian putih itu menghiasi jari lentiknya. Selama itu pula, ia merasa percaya diri dan terhormat sebagai kekasih Mas Prakasa.
"Happy anniversary, sayang..." bisik pria itu kemarin, di suatu restoran. Sebuket lily mengiringi seuntai senyum kharismatik.
"Terima kasih, " sambut Denik meragu.
"Sudah dua tahun aku mencintaimu, menyimpanmu dalam ruang hatiku..."
Sesaat wanita itu terdiam. Kemudian bertanya dengan mimik serius. "Tapi untuk apa, Mas mencintaiku??"
"Sebab kau pantas dicintai," sambut Prakasa cepat.
"Aku merasa amat beruntung, Sayang, bertemu wanita secantik dirimu. Kau wanita secantik berlian, berkilau dan berharga. Siapa pun sangat ingin memilikinya..."
Denik terlalu bahagia mendengar pujian itu. Jiwanya seakan terbang melambung ke angkasa raya. Ia tak dapat persis membedakan antara langit dan bumi. Keduanya terlalu jauh untuk disentuh saat ini.
Bohong, jika wanita tak ingin dipuji orang yang dicintainya, bukan?Â
Setelah bersusah payah merias diri dan menjaga berat badan, ia pantas mendapatkan perhatian dan cinta tulus dari sang kekasih.
Sepasang aliran bening menuruni pipi wanita itu. Matanya yang basah, masih menatap ke arah pigura besar di dinding kamar. Momen saat pria itu berlutut melamarnya.
Denik merasa terpukul.Â
Terlalu konyol jika ia dilamar tapi tak kunjung dinikahi. Sementara bukti cintanya sudah ia berikan pada pria itu. Kehangatan demi kehangatan yang penuh gelora. Hanya Prakasa yang beruntung mendapatkannya.
(bersambung)
Kisah sebelumnya Wanita di Balik Jabatan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H