Ketika seseorang memilih menjadi bagian dari aparatur negara, apa yang sebenarnya ingin diberikan? Pengabdian, melanjutkan cita-cita para pendahulu yang gugur saat melawan penjajah, atau sekedar untuk mata pencaharian dan harga diri pribadi?
Hukuman di atas hukuman, saya melihatnya seperti anak kecil yang harus diancam untuk menepati didikan dan aturan dalam sebuah keluarga.
"Nak, kalau kau tidak mengerjakan PR- mu, ibu akan hilangkan jatah camilan sore."
"Nak, kalau kau malas gosok gigi, ibu tidak akan belikan sepeda."
"Nak, kalau kau lupa mengerjakan sholat, ibu akan potong uang jajanmu."
Aneh, bukan? Sementara untuk menegakkan disiplin dalam keluarga, orang tua bisa dengan memberikan arahan, pengertian, ajakan, dan contoh teladan. Ancaman hukuman, dipilih sebagai cara terakhir tentunya.
ASN adalah tanggung jawab, bukan profesi belaka
Sadarilah, ketika menjabat sebagai Aparatur Sipil Negara, kewajiban demi kewajiban bertumpu di pundak Anda. Tidak mungkin di pundak orang lain yang tak mempunyai kiprah langsung atas tertib dan majunya bidang yang diemban.
Terkadang saya merasa iri, bila melihat mereka di lampu merah. Maksud saya, kami sama-sama menunggu lampu hijau menyala, untuk melanjutkan perjalanan.
Dari kain kudung kepala sampai kaos kaki dan sepatu, ASN wanita yang saya lihat, sangat rapi dan keren. Memakai seragam pemerintah dan sepatu bagus. Belum lagi riasan, parfum, tas dan kendaraan yang dibawa, bukan yang harga murah, kusam atau butut.
Mungkin, ini hanya sedikit gambaran timbal balik jerih payah yang dikerjakan. Pasti pengelola kebijakan telah mengatur berbagai tunjangan, fasilitas dan berbagai "kemewahan" untuk menciptakan iklim kerja yang sejuk untuk mereka. Hari libur, izin cuti, insentif, kenaikan gaji, jabatan dan seterusnya.