Saya sedang memesan gado-gado di warung pinggir jalan. Sesuai urutan, saya mengantri dua pembeli sebelumnya.Â
Saya perhatikan gerakan ibu penjual lumayan lamban, dan membuat saya gelisah jadinya. Maklum ia baru berdagang di sini.
Tibalah giliran saya dibuatkan. Saya memesan tiga cabai, untuk dua bungkus. Belakangan saya baru menyadari, untuk dua bungkus gado-gado seharusnya memakai enam cabai. Barulah pedasnya pas.
Ibu bertubuh gemuk ini, tidak saya ketahui namanya. Atau tidak saya temukan spanduk banner di sekitar meja jualannya.
Tak ingin saling diam, saya pun memulai obrolan.Â
Mulanya, saya menyinggung singkong yang biasanya terpajang memenuhi meja di sebelahnya. Dua setengah kwintal singkong dengan kualitas sangat baik, biasanya didatangkan sang suami, langsung dari petani di kampung.Â
"Lagi kosong, Mbak. Soalnya sekarang musim hujan, susah mencabut pohon singkong..." jelas ibu penjual gado-gado.
Ya, saya tidak menampik. Samarinda dan sekitarnya akhir-akhir ini memang sering dilanda hujan. Beberapa wilayah bahkan mengalami kebanjiran.
"Kalau di Jawa justru kemarau, Mbak," katanya lagi. Saya hanya mengangguk.
"Harga-harga sekarang pada naik," katanya mulai curhat, lalu mengambil sepotong tempe.