Menjadi istri, sejak memasuki gerbang rumah tangga, berarti ia akan memperjuangkan semuanya.Â
Ia bukan hanya bertanggung jawab tentang kenyamanan rumahnya, tapi juga menjaga harkatnya sebagai istri.Â
Bahkan ia harus bisa memaafkan bila suaminya mengecewakan. Dan itu semua tidak mudah. Itu yang Mona tau.
Lisa adalah gadis dengan kehidupan liar. Jauh dari keluarga, dan mempertaruhkan dirinya demi cinta pada seorang lelaki. Mona tak suka gadis itu dari awal.
Tetapi saat ini, Mona sadar ia tidak lagi menjadi bidadari di hati suaminya. Cinta di hati Arman sedang tercemar oleh hama yang ditebarkan Lisa.Â
Bagaimana kalau pohon-pohon cinta itu akan kering lalu mati? Dugaan inilah yang mendorongnya terpuruk dalam kesedihan. Saat bayinya lahir, Mona tidak otomatis bahagia seperti yang pernah dibayangkannya saat remaja.
Mona melangkah memasuki kamarnya. Diletakkannya bayi yang sedari tadi dia gendong. Bayi yang sangat cantik, dengan kulit yang masih merah. Mona memandangi dengan hati tak menentu.
Malam perlahan turun. Menutupi seluruh kota dengan tirai hitam. Sepi tanpa harapan.
Mona masih menatapi langit-langit kamar. Ada wajah Arman di sana. Dengan senyum hangat membawakannya seikat bunga. Membacakannya puisi-puisi cinta. Lalu berlutut memohonnya.
Mona menyapu wajahnya dengan telapak tangan. Lalu memandangi bayi mungil yang masih dibuai mimpi. Ia dan suaminya bahkan belum menemukan nama yang cocok untuk bayi mereka.
Sekarang aku adalah seorang ibu, bisiknya dalam hati. Aku akan menjadi panutan bagi anak-anakku kelak. Aku harus bisa mengelola perasaan negatip ini.