Di hari seharusnya ia merasakan kebahagiaan, Mona justru tampak terluka.
Wajahnya murung penuh kebencian. Bayi rupawan yang baru beberapa jam ia lahirkan, seakan tak mampu menghibur hatinya.Â
Matahari mulai bangun dan keluar dari celah-celah daun, saat ujung jarinya mengetik beberapa huruf, membalas ucapan selamat dari Lisa. Sesaat lagi Lisa akan datang menjenguk dan membawakan kado paling manis untuk Mona dan bayinya. Tapi ia sama sekali tak suka.
"Jangan pernah datang, apalagi memberi kado!"Â balasnya sinis.
Mona tak mau memikirkan apa reaksi suaminya, setelah tahu ia bersikap kasar pada Lisa.Â
Beberapa waktu lalu mereka bahkan berdebat. Sebagai istri ia merasa diabaikan, tetapi Lisa malah dipuji setinggi tiang lampu jalanan.
Mona menggigit bibir. Mengapa kehangatan rumah tangganya harus dirusak gadis itu. Lisa adalah orang asing. Ia datang bersama awan-awan mendung, sebulan yang lalu.Â
Sore menjelang. Mona menunggu Arman pulang, di teras lantai dua rumah kontrakan.Â
Ia tampak terpekur. Bunga-bunga euphorbia yang merah, tak mampu menarik sudut bibirnya sekedar tersenyum.
Tak ada wanita yang suka, suaminya melindungi wanita lain. Tetapi Mona berusaha menghadapi masalah ini secara dewasa. Merontak meledak-ledak akan sia-sia belaka. Tapi, kenapa suaminya belum kelihatan batang hidungnya?
Menjadi istri, sejak memasuki gerbang rumah tangga, berarti ia akan memperjuangkan semuanya.Â
Ia bukan hanya bertanggung jawab tentang kenyamanan rumahnya, tapi juga menjaga harkatnya sebagai istri.Â
Bahkan ia harus bisa memaafkan bila suaminya mengecewakan. Dan itu semua tidak mudah. Itu yang Mona tau.
Lisa adalah gadis dengan kehidupan liar. Jauh dari keluarga, dan mempertaruhkan dirinya demi cinta pada seorang lelaki. Mona tak suka gadis itu dari awal.
Tetapi saat ini, Mona sadar ia tidak lagi menjadi bidadari di hati suaminya. Cinta di hati Arman sedang tercemar oleh hama yang ditebarkan Lisa.Â
Bagaimana kalau pohon-pohon cinta itu akan kering lalu mati? Dugaan inilah yang mendorongnya terpuruk dalam kesedihan. Saat bayinya lahir, Mona tidak otomatis bahagia seperti yang pernah dibayangkannya saat remaja.
Mona melangkah memasuki kamarnya. Diletakkannya bayi yang sedari tadi dia gendong. Bayi yang sangat cantik, dengan kulit yang masih merah. Mona memandangi dengan hati tak menentu.
Malam perlahan turun. Menutupi seluruh kota dengan tirai hitam. Sepi tanpa harapan.
Mona masih menatapi langit-langit kamar. Ada wajah Arman di sana. Dengan senyum hangat membawakannya seikat bunga. Membacakannya puisi-puisi cinta. Lalu berlutut memohonnya.
Mona menyapu wajahnya dengan telapak tangan. Lalu memandangi bayi mungil yang masih dibuai mimpi. Ia dan suaminya bahkan belum menemukan nama yang cocok untuk bayi mereka.
Sekarang aku adalah seorang ibu, bisiknya dalam hati. Aku akan menjadi panutan bagi anak-anakku kelak. Aku harus bisa mengelola perasaan negatip ini.
Mona menarik laci. Mengeluarkan selembar kertas dan mulai menulis beberapa nama.
Sesaat ia terhenti. Diingatnya Lisa.
Aku tak akan membenci Lisa lagi, ucapnya berjanji. Itu akan menghilangkan kecintaan suamiku. Arman akan melihatku buruk, sebagai wanita pencemburu yang penuh dendam, pikirnya mantap.
M O N A L I S A
Mona memandangi huruf-huruf yang baru dia tulis. Arman pasti setuju, jika aku berbaikan dengan Lisa...Â
Bayi rupawan yang masih tergeletak di atas sprei putih itu, sekarang sudah memiliki nama yang spesial. Arman pasti senang.
SELESAI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H