bubur ayam dulu. Setelah memesan pada penjual, saya menghampiri satu-satunya meja di sana. Dua remaja putri, tampak hampir selesai makan namun masih asyik mengobrol.
Di suatu pagi, sebelum berbelanja kebutuhan untuk masak  hari itu, saya mampir sarapanTanpa bermaksud mencuri dengar, saya menangkap pembicaraan mereka yang diwarnai senyum, tawa dan kebahagiaan.
Ya, itulah remaja. Dunia mereka dipenuhi cerita indah persahabatan, petualangan, bahkan tentang gebetan.
Tak tahan juga, akhirnya saya nimbrung dengan sebuah pertanyaan.
"Dek, suka baca cerita, yaa?"Â sapa saya, mungkin dengan sedikit gaya sok kenal sok dekat. Hehee.
Kalau tidak salah tangkap, mereka sedang membahas asyiknya membaca cerita romance sekali baca, alias tidak bersambung.
"Hehe... iya Bu," balas salah satu yang berada di sebelah saya. Gadis bermata kecil di depannya ikut senyum.
"Dimana, bacanya?" tanya saya lagi.
"Di aplikasi ini Bu, yang ini..."Â ujung telunjuknya menempel di layar berisi fitur ponsel.
"Oooh..."
"Itu isinya cerita apa. Cerpen, yaa?"
"Ada juga yang bersambung, Bu."
"Mmm, sukanya baca yang apa. Romantis, atau komedi?"
Mereka berdua tersenyum simpul, tanpa bisa menggambarkan.
"Suka baca-baca aja, Bu, kalau lagi mood. Kalau lagi males, nonton siaran tv nya aja sih..."
Demikian sepotong percakapan saya dengan dua remaja SMU.Â
Keesokan harinya, barulah saya sempat memeriksa aplikasi yang dimaksud kedua remaja. Saya melihat ada banyak sekali cerita romantis, bahkan untuk 21 tahun ke atas!
Sungguh sayang, bukan, remaja kelas sebelas dibekali kendaraan, uang jajan, ponsel pintar, namun orang tua abai terhadap sepak terjangnya?
Polisi bagi anak remaja
Mengawasi apa saja kegiatan anak remaja, dengan siapa ia bergaul, kemana kakinya melangkah, bukanlah isapan jempol belaka.
Jika diibaratkan, anak remaja bak orang di persimpangan jalan. Ia mempunyai beberapa pilihan yang tidak cukup dipahaminya. Tidak heran, bila kemudian banyak didengar kasus-kasus yang mencoreng muka kedua orang tua. Di titik inilah, fungsi orang tua sebagai "polisi" bagi anak remaja, sangat dibutuhkan.
Berikut tips menjadi "polisi" bagi anak remaja:
- Jadilah teman. Saya percaya, di rentang usia 12-17 tahun, anak remaja tidak ingin lagi dianggap anak-anak. Tetapi di lain pihak, mereka sangat haus perhatian dan kasih sayang keluarga. Menjadi teman akan membuatnya bersikap terbuka dengan orang tua. Anda pun dapat memantau isi pikirannya dengan mudah.
- Banyak meluangkan waktu. Ketika mereka tumbuh besar dan menjadi mandiri, jangan mengira orang tua dapat meninggalkannya untuk mengurus bisnis yang selama ini tertunda. Apalagi dengan mengedepankan alasan biaya pendidikan dan kebutuhan lainnya semakin meningkat. Di sinilah orang tua membuka pintu masuk hal-hal negatip yang mungkin mempengaruhi hidup remaja.
- Hindari bersikap keras. Usia mereka sekarang, merupakan masa yang sensitif atas sikap keras atau bersahabat. Sebab ia sedang mengenal lingkungan di luar rumah. Ada banyak orang-orang yang ingin menjadi temannya. Bahkan pelaku kejahatan pun, akan menyamar menjadi orang yang ramah. Sikap keras, alih-alih akan membuatnya menjauh.
- Peraturan berbentuk kesepakatan. Pada tahap ini, orang tua dan anak duduk bertiga. Ingatlah bahwa anak membutuhkan perhatian, cinta dan rasa hormat dari orang tuanya. Artinya, peraturan tidak dapat sekonyong-konyong ditegakkan tanpa sebuah pendekatan. Berilah wawasan dan alasan mengapa ia tidak boleh hang out seharian, atau tidak boleh bermain gadjet sampai melupakan waktu sholat dan makan.
- Beri apresiasi serta kepercayaan. Dua hal ini juga tak bisa dihindarkan dari remaja. Ketika prestasi maupun karyanya mendapat respon baik dari orang tua, ia akan merasa berharga dan lebih bersemangat. Ketika ia dipercaya melakukan kegiatan tanpa dibuntuti atau diinterogasi, ia pun akan merasa dihargai. Ini baik untuk psikologinya.
- Pola hukuman yang mendewasakan. Katakanlah anak remaja tidak mengirimkan tugas sekolah daringnya beberapa kali. Tentu pihak sekolah akan memberitahukan orang tua yang tampaknya sudah kecolongan. Hukuman yang dapat diberikan bukan berupa pukulan fisik, atau membersihkan kamar mandi. Hukuman yang pasti ditolaknya dan membuat orang tua dibenci. Hukumlah dengan menghafal surah pendek juz amma, misalnya. Atau mengerjakan soal matematika, yang belum lancar dikuasainya.
Intinya, orang tua tidak mengekang tetapi tetap bertanggung jawab atas perkembangan, prestasi dan sikap anak remaja.
Tantangan besar bagi orang tua sebab pada era digital segala bentuk informasi sangat mudah diakses dan diserap anak dengan bekal gawai berikut jaringan wifi di rumah.
Sebagai tunas bangsa, pundak mereka mengemban masa depan negara. Terkecil adalah masa depan anak itu sendiri.
Arahan, bimbingan, dorongan serta fasilitas, menjadi sebuah paket untuknya menyusuri jalan hidup. Hujan informasi, panasnya tren western, dan badai kebimbangan, menjadi tantangan sekaligus penentu apakah remaja tetap di jalan yang benar.
Pergaulan yang mewarnai hari-harinya haruslah yang sehat, bermanfaat dan berdampak positip lainnya.
Ilustrasi dua remaja yang gemar membaca cerita romance pada aplikasi dari negara lain, hanyalah sedikit hal yang perlu diwaspadai orang tua selaku polisi bagi anak remajanya.
Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H