Gaya hidup child free yang akhir-akhir ini ramai terdengar, sangat membuat saya heran. Ketika tak terhitung banyaknya pasangan yang mendamba kehadiran buah hati, surga mata, semangat hidup, dan pewaris nama besar; ada pula pasangan yang berkomitmen tak ingin mempunyai anak dalam pernikahannya!
Jika ditanya, apakah hal tersebut merupakan keputusan yang keliru, atau justru keputusan yang tepat? Saya tegas memilih jawaban pertama: keliru!
Tujuan mengurangi ledakan jumlah penduduk
Siapa yang tahu tentang akhir dunia ini? Apakah kita mengira, pada hitungan dua ribu tahun saja, planet bumi ini akan penuh sesak, sehingga kita perlu berupaya mengatasinya?
Tampaknya, populasi manusia kian bertambah saja dari waktu ke waktu. Namun, saya tak mungkin menghindari sunnah nabi untuk menikah, hanya karena memikirkan masalah ini. Jelas saya takut digolongkan bukan dari umat nabi Muhammad saw.
Kedua, jangan lupa jika Allah swt berkehendak untuk mengosongkan sebuah daratan, cukup dengan kun fayakun. Secara dahsyat Allah swt akan menenggelamkan, seperti yang pernah terjadi atas negeri-negeri yang sombong pada masa sebelum Islam.
Tidak realistis bagi orang yang beriman, mengatasi sebuah masalah, dengan melanggar ketentuan Rabb yang menciptakan kehidupan.
Jika diibaratkan, seperti mencuci pakaian dengan air yang kotor. Tentu tidak akan sampai kepada tujuan.
Surah An Nahl ayat 72 menjawab
وَاللّٰهُ جَعَلَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا وَّجَعَلَ لَكُمْ مِّنْ اَزْوَاجِكُمْ بَنِيْنَ وَحَفَدَةً وَّرَزَقَكُمْ مِّنَ الطَّيِّبٰتِۗ اَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُوْنَ وَبِنِعْمَتِ اللّٰهِ هُمْ يَكْفُرُوْنَۙ
Artinya:
"Dan Allah menjadikan bagimu pasangan (suami atau istri) dari jenismu sendiri, dan menjadikan anak cucu bagimu dari pasanganmu, serta memberimu rezeki dari yang baik. Mengapa mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari nikmat Allah?”
Dari ayat di atas, menikah, mempunyai anak dan mempunyai cucu adalah urutan yang saling terkait. Apakah untuk kepentingan "ini dan itu", kita cukup mengambil hal menikah saja?
Lanjutan ayat adalah وَّرَزَقَكُمْ مِّنَ الطَّيِّبٰتِۗ. Bisa dilihat, Allah memberitahu bahwa Dia-lah yang akan memberi rezeki dari yang baik.
Maka siapapun yang menikah karena Allah, tidak perlu menghitung matematis tentang bagaimana keberlangsungan anak-anak yang akan dilahirkan. Dari mana dana persalinan, uang susu, popok, ongkos sehari-hari, biaya pendidikan, pengobatan dan sebagainya.
Menikah adalah separuh dari ibadah
Menikah merupakan mekanisme atas keberlangsungan umat manusia. Sifatnya sakral dan dapat menghindarkan dari fitnah zina.
Namun, menjaga dan merawat sebuah rumah tangga, bukan merupakan hal sepele dan mudah. Terlalu banyak liku dan ujian di dalamnya.
Bagaimana seorang istri dapat ikhlas dalam mematuhi suami selaku imam keluarga. Serta tanggung jawab seorang suami menjauhkan diri dan keluarganya dari hal-hal yang dilarang. Diperlukan keikhlasan dan pengorbanan yang tidak sedikit tentunya.
Begitu pula saat merawat dan mendidik anak-anak yang kemudian dilahirkan. Kesabaran dan kerja keras menjadi hal yang mutlak dibutuhkan. Itulah mengapa, menikah dan mempunyai anak adalah ibadah.
Mematuhi Allah swt sebagai tanda syukur
Mengapa saat menghadiri resepsi atau pesta pernikahan, para undangan tampil maksimal, dengan pakaian serapi mungkin?
Jika untuk menghargai perasaan bahagia kedua mempelai dan keluarga kedua pihak, kita bisa sedemikian serius; bagaimanakah cara kita membahagiakan Allah swt yang memberikan konsep pernikahan, bahkan menjaga langit dan bumi ini untuk kehidupan manusia?
Aneh bukan, bila di awal keberadaan manusia di bumi, dilangsungkan perkawinan antar anak Adam; namun kini kita berupaya menghentikan kelahiran generasi berikutnya dengan gerakan child free?
Pengecualian, jika pasangan menikah tersebut secara medis dideteksi mengidap penyakit berbahaya yang dapat diturunkan (menular) ke janin. Infeksi, sipilis, diabetes tipe 1, alzheimer hemofilia, thalasemia, kanker, jantung, dan gangguan mental.
Menjalani setiap sunatullah dengan penuh kepatuhan, sesungguhnya merupakan wujud rasa syukur kita sebagai seorang hamba.
Melenceng dari aturan hidup yang termaktub dalam al qur'an, mencari-cari dalih pembenaran dengan akal pikiran yang serba terbatas, adalah gambaran luasnya ilmu yang belum diperoleh.
Semoga Allah swt memberi petunjuk ke jalan yang lurus.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H