وَاللّٰهُ جَعَلَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا وَّجَعَلَ لَكُمْ مِّنْ اَزْوَاجِكُمْ بَنِيْنَ وَحَفَدَةً وَّرَزَقَكُمْ مِّنَ الطَّيِّبٰتِۗ اَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُوْنَ وَبِنِعْمَتِ اللّٰهِ هُمْ يَكْفُرُوْنَۙ
Artinya:
"Dan Allah menjadikan bagimu pasangan (suami atau istri) dari jenismu sendiri, dan menjadikan anak cucu bagimu dari pasanganmu, serta memberimu rezeki dari yang baik. Mengapa mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari nikmat Allah?”
Dari ayat di atas, menikah, mempunyai anak dan mempunyai cucu adalah urutan yang saling terkait. Apakah untuk kepentingan "ini dan itu", kita cukup mengambil hal menikah saja?
Lanjutan ayat adalah وَّرَزَقَكُمْ مِّنَ الطَّيِّبٰتِۗ. Bisa dilihat, Allah memberitahu bahwa Dia-lah yang akan memberi rezeki dari yang baik.
Maka siapapun yang menikah karena Allah, tidak perlu menghitung matematis tentang bagaimana keberlangsungan anak-anak yang akan dilahirkan. Dari mana dana persalinan, uang susu, popok, ongkos sehari-hari, biaya pendidikan, pengobatan dan sebagainya.
Menikah adalah separuh dari ibadah
Menikah merupakan mekanisme atas keberlangsungan umat manusia. Sifatnya sakral dan dapat menghindarkan dari fitnah zina.
Namun, menjaga dan merawat sebuah rumah tangga, bukan merupakan hal sepele dan mudah. Terlalu banyak liku dan ujian di dalamnya.
Bagaimana seorang istri dapat ikhlas dalam mematuhi suami selaku imam keluarga. Serta tanggung jawab seorang suami menjauhkan diri dan keluarganya dari hal-hal yang dilarang. Diperlukan keikhlasan dan pengorbanan yang tidak sedikit tentunya.
Begitu pula saat merawat dan mendidik anak-anak yang kemudian dilahirkan. Kesabaran dan kerja keras menjadi hal yang mutlak dibutuhkan. Itulah mengapa, menikah dan mempunyai anak adalah ibadah.